Blue Fox Pictures

#青川入梦 》今日开播!挥袖卷狂澜,射弓破苍穹;剑影纵横,势如流星劈四方。每日0点(UTC+8)更新,精彩不要错过 ​​~
导 演:#张之微
领衔主演:#郭晓婷
领衔主演:#周历杰
主 演:#杨馥羽 #袁铭泽 #崇越 #熊逸凡
特邀主演:#田淼 #刘蔚森 #安峻岐 #薛敬之 #梅凌甄
友情出演:#郑锋 #王学习 #应振南 #圣微

3 months ago | [YT] | 281



@BlueFoxofficialchannel

🔗传送门:https://youtu.be/oVJffwqZKlk

3 months ago | 1

@NurUddin-g9q

❤❤❤

2 months ago | 0

@여효순-e5g

이드라제목좀

1 month ago | 0

@iluvv_Caa

DRAMA ATAU "DRAMA"? Di era digital saat ini, industri drama televisi dan web series—khususnya drama China atau yang biasa disebut Dracin—mengalami pergeseran fundamental dalam orientasi produksi. Fokus yang semula diletakkan pada kekuatan naskah, karakter, dan akting kini bergeser menjadi sebuah etalase visual, di mana wajah para aktor/aktris menjadi komoditas utama. Akibatnya, banyak penonton kritis mulai mempertanyakan: Apakah kita masih menonton drama, atau hanya parade kosmetik dan glamor semu? 1. Pergeseran Paradigma Produksi: Dari Cerita ke Popularitas Tradisionalnya, pembuatan drama dimulai dari kekuatan skenario, lalu pemilihan sutradara dan casting berdasarkan kecocokan karakter. Namun dalam banyak produksi Dracin modern, prosesnya justru terbalik: Dimulai dari artis yang sedang naik daun (biasanya populer di media sosial), Diikuti dengan sponsor yang tertarik dengan daya jual figur tersebut, Lalu barulah dibuat naskah yang "disesuaikan" agar artis tetap terlihat menarik di layar. Fenomena ini menjadikan cerita hanya sebagai latar belakang, bukan inti. 2. Agen Selebriti: Aktor sebagai Produk, Bukan Seniman Agen artis kini memasarkan talent mereka bukan dengan menonjolkan kapabilitas akting, melainkan berdasarkan statistik popularitas: Jumlah pengikut di Weibo/Instagram, Banyaknya kontrak endorsement, Citra "glowing" yang konsisten di depan kamera. Hasilnya, bahkan ketika peran menuntut ekspresi manusiawi yang realistis, para pemain utama harus tetap tampil menawan. Lipstik harus tetap merah apapun yang terjadi, eyeliner tidak boleh luntur, bedak apalagi dan kostum tidak boleh kusut apalagi kotor walaupun habis berjumpalitan dan bergulingan. 3. Kekerasan terhadap Realisme: Ketika Peran Bertentangan dengan Penampilan Dalam berbagai Dracin bertema sejarah atau peperangan, tak jarang kita menyaksikan: Karakter wanita yang harusnya menyamar sebagai lelaki tetap memakai riasan tebal, Aktor yang harusnya hidup di hutan dan medan perang tetap berpenampilan seperti habis keluar dari salon, Wajah "lelah" yang tetap "segar enak dipandang" dihasilkan dari makeup lembut, bukan ekspresi tulus. Ini bukan sekadar estetika. Ini adalah pelecehan terhadap akting dan realisme. 4. Dampaknya pada Penonton: Terbentuknya Persepsi Palsu Penonton yang terus-menerus disuguhi glamorisasi semu akhirnya mengalami: Penurunan daya kritis, Ketergantungan pada visual, Penolakan terhadap drama yang realistis justru dinilai: "jelek" atau "tidak proper". Ini adalah gejala kultural serius yang dapat memperlemah penghargaan masyarakat terhadap seni peran yang autentik. 5. Komodifikasi Wajah: Kapitalisme yang Menghancurkan Seni Di balik semua ini, akar masalahnya adalah kapitalisme tontonan: Wajah dan tubuh aktor dijual sebagai produk iklan berjalan, Cerita hanya dijadikan pembungkus yang bisa dibentuk sesuai kebutuhan brand. Ini mengubah seni menjadi iklan, aktor menjadi billboard hidup. Pada akhirnya drama berseri sejatinya adalah medium penceritaan yang merefleksikan kehidupan, bukan katalog fashion atau kosmetik. Ketika industri hiburan menjadikan wajah lebih penting dari naskah, maka yang dilukai bukan hanya akal sehat penonton, tetapi juga martabat seni peran itu sendiri. Kritik ini bukan untuk menjatuhkan para pelaku industri, tetapi untuk menyerukan kembalinya integritas dalam seni. Penonton berhak mendapat tontonan yang bukan hanya menarik secara visual, tetapi juga kuat secara isi. Saatnya kita bertanya: Apakah kita menonton drama, atau hanya membeli ilusi yang dibungkus kemewahan semu? Nilai apa yang kita dapatkan dari hangusnya kouta kita? Hidup semakin jauh dari kenyataan? #pemerhati seni peran

3 months ago (edited) | 0