Sisian R.R. Rumi

🕊️
*لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ*

_"Janganlah seseorang di antara kalian meninggal dunia, kecuali dalam keadaan berbaik sangka terhadap Allah.” (HR. Muslim)_

🕊️
"إضاعة الوقت أشد من الموت، لأن إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة والموت يقطعك عن الدنيا وأهلها"

"Menyia-nyiakan waktu lebih buruk daripada kematian, karena menyia-nyiakan waktu memutuskanmu dari Allah dan negeri akhirat, adapun kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan para penghuninya"



Sisian R.R. Rumi

بِسْــــــــــــــــــــــم اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

*❤️‍🔥 CARA MENGHILANGKAN RASA BERSALAH*

*Mungkin di antara kita ada yang pernah terjatuh dalam satu dosa yang sangat sulit terlupakan.* Apakah itu maksiat yang begitu menjijikkan menurut kita, atau suatu kezhaliman kepada orang lain. Rasa bersalah itu kemudian terus hadir dalam pikiran kita, selalu membayang-bayangi dan menghantui diri kita.

Penyesalan atau merasa bersalah adalah kondisi normal yang terjadi. Namun, jika seseorang terus menerus merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri maka hal tersebut bisa berefek buruk pada jiwanya. Dia tidak akan semangat menjalani hidup, merasa tak berguna, bahkan bisa merasa putus asa terhadap rahmat Allah.

*✅ KETAHUILAH BAHWASANYA MANUSIA TIDAK AKAN BISA LEPAS DARI PERBUATAN SALAH*
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

Setiap anak Adam adalah bersalah dan sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertaubat.” (HR At-Tirmidzi, no. 2499)

Kata خَطَّاءٌ dalam bahasa Arab adalah sighah mubalaghah, yang bermakna sering melakukan kesalahan.

Kenyataan inilah yang perlu disadari dan dimaklumi oleh orang yang merasa dirinya pendosa, sehingga dia tidak terus berlarut-larut dalam rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Lebih dari itu, sebesar apapun dosa seorang manusia, akan diampuni oleh Allah jika dia bertaubat dan kembali kepada Allah. Allah berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53)

Setelah menyadari bahwa manusia itu tempat salah dan dosa, dia pun sudah bertaubat dan kembali kepada Allah, maka agar bisa mengobati rasa bersalahnya, berikutnya dia berusaha mengganti kesalahan-kesalahannya dengan kebaikan. *Kebaikan itu lah yang akan menghapus kesalahannya dan bisa mengobati rasa bersalahnya.* Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا

Iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka kebaikan akan menghapuskan keburukan itu.” (HR. Tirmidzi, no. 1987)

Jika kesalahan itu berkaitan dengan hak Allah, maka gantilah kesalahan tersebut dengan taubat nasuha serta ibadah yang banyak. Jika dahulu suka meninggalkan shalat, maka sekarang sering-seringlah shalat sunnah.

Jika kesalahan itu berkaitan dengan hak manusia, maka gantilah kesalahan tersebut dengan sering berbuat baik kepadanya. Jika dahulu suka memarahi istri, maka sekarang sering-seringlah berkata lembut kepada istri. Dengan demikian, istri pun akan melupakan keburukan yang dulu sering Anda lakukan kepada istri.

✍🏻 Oleh Ustadz dr.Raehanul Bahraen, M.Sc.,Sp.PK

•═════◦•◉✿◉•◦═════•

11 hours ago | [YT] | 4

Sisian R.R. Rumi

بِسْــــــــــــــــــــــم اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

*💫💓 BENTUK-BENTUK BERBAKTI KEPADA ORANG TUA*

*_● Bentuk-Bentuk Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua Adalah_* :
*● Pertama. Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik.* Di dalam hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberikan kegembiraan kepada seorang mu’min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua kita.

Dalam nasihat perkawinan dikatakan agar suami senantiasa berbuat baik kepada istri, maka kepada kedua orang tua harus lebih dari kepada istri. Karena dia yang melahirkan, mengasuh, mendidik dan banyak jasa lainnya kepada kita.

Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ketika seseorang meminta izin untuk berjihad (dalam hal ini fardhu kifayah kecuali waktu diserang musuh maka fardhu ain) dengan meninggalkan orang tuanya dalam keadaan menangis, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata, Kembali dan buatlah keduanya tertawa seperti engkau telah membuat keduanya menangis.” [Hadits Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i] Dalam riwayat lain dikatakan : Berbaktilah kepada kedua orang tuamu."[Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

*● Kedua. Yaitu berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut.* Hendaknya dibedakan berbicara dengan kedua orang tua dan berbicara dengan anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua, tidak boleh mengucapkan ah apalagi mencemooh dan mencaci maki atau melaknat keduanya karena ini merupakan dosa besar dan bentuk kedurhakaan kepada orang tua. Jika hal ini sampai terjadi, wal iya udzubillah.

Kita tidak boleh berkata kasar kepada orang tua kita, meskipun keduanya berbuat jahat kepada kita. Atau ada hak kita yang ditahan oleh orang tua atau orang tua memukul kita atau keduanya belum memenuhi apa yang kita minta (misalnya biaya sekolah) walaupun mereka memiliki, kita tetap tidak boleh durhaka kepada keduanya.

*● Ketiga. Tawadlu (rendah diri).* Tidak boleh kibir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah yang menolong dengan memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.

Seandainya kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang kita anggap ringan dan merendahkan kita yang mungkin tidak sesuai dengan kesuksesan atau jabatan kita dan bukan sesuatu yang haram, wajib bagi kita untuk tetap taat kepada keduanya. Lakukan dengan senang hati karena hal tersebut tidak akan menurunkan derajat kita, karena yang menyuruh adalah orang tua kita sendiri. Hal itu merupakan kesempatan bagi kita untuk berbuat baik selagi keduanya masih hidup.

*● Keempat. Yaitu memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang tua.* Semua harta kita adalah milik orang tua. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Baqarah/2 ayat 215.

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ ۖ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infakkan. Jawablah, Harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu perbuat sesungguhnya Allah maha mengetahui

Jika seseorang sudah berkecukupan dalam hal harta hendaklah ia menafkahkannya yang pertama adalah kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tua memiliki hak tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Baqarah di atas. Kemudian kaum kerabat, anak yatim dan orang-orang yang dalam perjalanan. Berbuat baik yang pertama adalah kepada ibu kemudian bapak dan yang lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berikut.

أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أَبَاكّ، ثُمَّ الأَقْرَبِ فَاْلأَقْرَبِ

Hendaklah kamu berbuat baik kepada ibumu kemudian ibumu sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat."[Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 3, Abu Dawud No. 5139 dan Tirmidzi 1897, Hakim 3/642 dan 4/150 dari Mu’awiyah bin Haidah, Ahmad 5/3,5 dan berkata Tirmidzi, Hadits Hasan]

Sebagian orang yang telah menikah tidak menafkahkan hartanya lagi kepada orang tuanya karena takut kepada istrinya, hal ini tidak dibenarkan. Yang mengatur harta adalah suami sebagaimana disebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Harus dijelaskan kepada istri bahwa kewajiban yang utama bagi anak laki-laki adalah berbakti kepada ibunya (kedua orang tuanya) setelah Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kewajiban yang utama bagi wanita yang telah bersuami setelah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kepada suaminya. Ketaatan kepada suami akan membawanya ke surga. Namun demikian suami hendaknya tetap memberi kesempatan atau ijin agar istrinya dapat berinfaq dan berbuat baik lainnya kepada kedua orang tuanya.

*● Kelima. Mendo’akan orang tua.* Sebagaimana dalam ayat,

رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro (Wahai Rabb-ku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil)."[Al-Isra/17 : 24]

Seandainya orang tua belum mengikuti dakwah yang haq dan masih berbuat syirik serta bid’ah, kita harus tetap berlaku lemah lembut kepada keduanya. Dakwahkan kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut sambil berdo’a di malam hari, ketika sedang shaum, di hari Jum’at dan di tempat-tempat dikabulkannya do’a agar ditunjuki dan dikembalikan ke jalan yang haq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

*✅ APABILA KEDUA ORANG TUA TELAH MENINGGAL MAKA*:
*● Yang pertama : Kita lakukan adalah meminta ampun kepada Allah Ta’ala* dengan taubat yang nasuha (benar) bila kita pernah berbuat durhaka kepada kedua orang tua sewaktu mereka masih hidup.

*● Yang kedua : Adalah mendo’akan kedua orang tua kita.*
Dalam sebuah hadits dla’if (lemah) yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Apakah ada suatu kebaikan yang harus aku perbuat kepada kedua orang tuaku sesudah wafat keduanya ? Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, Ya, kamu shalat atas keduanya, kamu istighfar kepada keduanya, kamu memenuhi janji keduanya, kamu silaturahmi kepada orang yang pernah dia pernah silaturahmi kepadanya dan memuliakan teman-temannya."[Hadits ini dilemahkan oleh beberapa imam ahli hadits karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah dan Syaikh Albani Rahimahullah melemahkan hadits ini dalam kitabnya Misykatul Mashabiih dan juga dalam Tahqiq Riyadush Shalihin."(Bahajtun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin Juz I hal.413 hadits No. 343)]

Sedangkan menurut hadits-hadits yang shahih tentang amal-amal yang diperbuat untuk kedua orang tua yang sudah wafat, adalah :

1️⃣.Mendo’akannya
2️⃣.Menshalatkan ketika orang tua meninggal
3️⃣.Selalu memintakan ampun untuk keduanya.
4️⃣.Membayarkan hutang-hutangnya
5️⃣.Melaksanakan wasiat yang sesuai dengan syari’at.
6️⃣.Menyambung tali silaturrahmi kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya."[Diringkas dari beberapa hadits yang shahih]

Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dari sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ اَهْلَ وُدِّ أَبِيْهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ

Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman bapaknya sesudah bapaknya meninggal."[Hadits Riwayat Muslim No. 12, 13, 2552]

Dalam riwayat yang lain, Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma menemui seorang badui di perjalanan menuju Mekah, mereka orang-orang yang sederhana. Kemudian Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepada orang tersebut dan menaikkannya ke atas keledai, kemudian sorbannya diberikan kepada orang badui tersebut, kemudian Abdullah bin Umar berkata, Semoga Allah membereskan urusanmu. Kemudian Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhumua berkata, Sesungguhnya bapaknya orang ini adalah sahabat karib dengan Umar sedangkan aku mendengar sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :

إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ اَهْلَ وُدِّ أَبِيْهِ

Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman ayahnya." [Hadits Riwayat Muslim 2552 (13)]

Berkaitan dengan masalah shalat dan puasa yang ditinggalkan oleh orang tua, maka menurut syari’at tidak dibenarkan mengqadha shalat atau puasa kecuali puasa nadzar [Tamamul Minnah Takhrij Fiqih Sunnah hal. 427-428, cet. III Darul Rayah 1409H, lihat Ahkamul Janaiz oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal 213-216, cet. Darul Ma’arif 1424H]

-------------------------------------

[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Darul Qolam. Komplek Depkes Jl. Raya Rawa Bambu Blok A2, Pasar Minggu-Jakarta. Cetakan I Th 1422H/2002M]

✍🏻 Oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas Rahimahullah

•═════◦•◉✿◉•◦═════•

17 hours ago | [YT] | 1

Sisian R.R. Rumi

" Banyak manusia yang datang karena kepentingan lalu pergi setelahnya, tetapi Allah tidak punya kepentingan
dan tidak akan meninggalkan kita.."

*#KamisKamiOptimis*🌷

20 hours ago | [YT] | 2

Sisian R.R. Rumi

Memuliakan Tamu Membuka Pintu Berkah


Dalam setiap kunjungan tamu yang mengetuk pintu rumah kita, ada pintu langit yang ikut terbuka—pintu pahala, pintu ketenangan, dan pintu keberkahan yang Allah janjikan bagi hamba yang menghidupkan adab mulia ini. Memuliakan tamu bukan sekadar tradisi, melainkan ibadah yang mengangkat derajat seorang mukmin, melembutkan hati, dan memperkuat hubungan dengan Allah serta sesamanya.

Memuliakan tamu adalah bagian dari ajaran Islam yang dalam dan sarat nilai spiritual. Ia bukan sekadar etika sosial atau adat kebiasaan, melainkan ibadah yang menyentuh inti hubungan seorang hamba dengan Rabb-nya. Ketika seseorang menerima tamu dengan wajah cerah, menyediakan pelayanan terbaik sesuai kemampuan, dan menganggap kedatangan tamu sebagai anugerah, maka ia sedang menapaki ibadah yang membuka pintu-pintu kebaikan yang tidak selalu tampak oleh mata. Inilah yang ingin ditegaskan oleh para ulama, di antaranya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, yang menempatkan ikram ad-dhayf sebagai amalan yang langsung terhubung dengan keimanan.

Beliau berkata sebagaimana tercantum dalam Fatāwā Nūr ‘ala ad-Darb:
"إِكْرَامُ الضَّيْفِ يَنْبَغِي أَلَّا نَقُولَ إِنَّهُ مِنَ الْعَادَاتِ بَلْ نَقُولُ إِنَّهُ مِنَ الْعِبَادَاتِ"
“Memuliakan tamu seyogianya kita tidak mengatakan bahwa itu termasuk adat kebiasaan, tetapi kita katakan bahwa itu termasuk ibadah.”

Pandangan ini berlandaskan sabda Nabi ﷺ yang menghubungkan memuliakan tamu dengan hakikat iman. Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ»
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Betapa halus cara Rasulullah ﷺ menanamkan nilai ini. Beliau tidak berkata “memuliakan tamu itu baik” atau “memuliakan tamu itu dianjurkan”. Tetapi beliau mengaitkannya langsung dengan keimanan. Ini menunjukkan bahwa kedatangan tamu bukan sekadar interaksi sosial, melainkan momentum bagi seorang hamba untuk menunjukkan kualitas keberagamaannya. Semakin tulus seseorang memuliakan tamunya, semakin tampak cahaya iman dalam dirinya.

Al-Qur’an pun membuka cakrawala pemahaman kita melalui kisah para nabi yang mencontohkan penghormatan kepada tamu. Dalam kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalām, Allah mengabadikan bagaimana beliau menyambut tamu malaikat yang datang dalam rupa manusia. Allah berfirman:

﴿ هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ ﴾
“Sudahkah sampai kepadamu kisah tamu-tamu Ibrahim yang dimuliakan?” (QS. Az-Zāriyāt: 24)

Kemudian Allah melanjutkan:
﴿ فَرَاغَ إِلَىٰ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ ﴾
“Maka ia pergi kepada keluarganya lalu datang dengan membawa daging anak sapi yang gemuk.” (QS. Az-Zāriyāt: 26)

Nabi Ibrahim mencontohkan bahwa memuliakan tamu dilakukan dengan sigap, tanpa ragu, tanpa menunggu tamu meminta sesuatu. Beliau bergegas, bukan berjalan santai. Beliau mengambil hidangan terbaik, bukan sisa atau seadanya. Sikap ini mencerminkan hati yang lapang, jiwa yang penuh adab, dan keyakinan bahwa memberi kepada tamu adalah bentuk mendekatkan diri kepada Allah.

Begitu pula Rasulullah ﷺ, beliau adalah manusia paling mulia dalam pelayanan kepada tamu. Para sahabat menggambarkan bahwa jika ada tamu datang, wajah beliau berseri-seri, duduk dekat tamu, menanyakan keperluannya, dan mendoakannya. Tidak pernah sekalipun beliau menunjukkan sikap berat atau enggan. Bahkan dalam keterbatasan, beliau tetap memberi. Ketika suatu kali beliau tidak memiliki apa pun untuk disajikan kepada tamu, beliau memerintahkan seorang sahabat agar membawa tamu itu ke rumahnya, dan Allah menurunkan ayat tentang keutamaan keluarga sahabat Anshar yang lebih mengutamakan tamu daripada diri mereka.

Allah berfirman:
﴿ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ﴾
“Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Ḥasyr: 9)

Inilah standar kemuliaan yang diajarkan Islam: bukan memberi dari kelapangan, tetapi bahkan dalam kesempitan hati tetap mendahulukan keridhaan Allah.

Memuliakan tamu juga memiliki dimensi batin yang halus. Ketika tamu datang, sesungguhnya Allah sedang menguji apakah hati kita lapang atau sempit, ikhlas atau berat, bersyukur atau mengeluh. Kadang Allah mengirim tamu bukan untuk diberi makan, tetapi untuk melatih sifat dermawan. Kadang Dia mengirim tamu bukan untuk minum, tetapi untuk menguji kesabaran dan kerendahan hati. Bahkan kadang Allah mengirim tamu untuk menjadi pemantik terbukanya pintu rezeki, sebab setiap tamu membawa jejak malaikat yang memohonkan rahmat bagi tuan rumah yang memuliakannya.

Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan bahwa memuliakan tamu adalah sebab datangnya kebaikan:
"فَإِكْرَامُ الضَّيْفِ عِبَادَةٌ تُقَرِّبُ الإِنْسَانَ مِنْ رَبِّهِ، وَتَكُونُ سَبَبًا لِصَلَاحِهِ بِإِذْنِ اللّٰهِ تَعَالَى"
“Memuliakan tamu adalah ibadah yang mendekatkan seseorang kepada Rabb-nya, dan menjadi sebab bagi kebaikan dirinya dengan izin Allah Ta’ala.”

Betapa banyak terjadi dalam kehidupan: seseorang yang awalnya hidupnya biasa-biasa saja, tetapi setelah membiasakan diri memuliakan tamu, rumahnya menjadi lebih tenteram, rezekinya lebih lapang, dan hatinya lebih lembut. Barangkali karena dalam jamuan kecil itu, Allah mencatatkan pahala besar, atau menghapuskan dosa yang tidak ia sadari.

Namun ibadah ini tetap berada dalam batas kemampuan. Islam tidak menuntut seseorang menyediakan yang tidak ia mampu. Memuliakan tamu bukan berarti mewah, tetapi tulus. Tidak berarti melimpah, tetapi ramah. Tidak berarti hidangan mahal, tetapi hati yang lapang. Nabi ﷺ bersabda:
«لَا تَكَلُّفَ فِي الضَّيَافَةِ»
“Tidak ada berlebih-lebihan dalam menjamu tamu.” (Riwayat Baihaqi)

Dengan demikian, memuliakan tamu adalah ibadah yang ringan namun berdampak besar. Barangsiapa ingin hatinya dilembutkan, rezekinya diberkahi, dan rumahnya diliputi sakinah, maka hidupkanlah adab ini. Layani tamu dengan senyum, sambut mereka dengan doa, dan niatkan semuanya sebagai ibadah agar setiap langkah kecil itu menjadi catatan kebaikan yang abadi.

Semoga Allah menjadikan rumah kita seperti rumah para salihin tempat di mana tamu merasa dihormati, doa-doa terangkat, dan keberkahan turun tanpa henti. Aamiin.

1 day ago | [YT] | 3

Sisian R.R. Rumi

*ONE DAY ONE HADITS*
```Rabu, 3 Desember 2025 / 12 Jumadal Akhirah 1447 H```

_*Tiga Tingkatan Manusia dalam Mengambil Faidah Ilmu Agama*_

قال رسول الله ﷺ:
«مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللهُ بِهَا النَّاسَ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا، وَأَصَابَتْ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ، لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً»
[رواه البخاري ومسلم]

Rasūlullāh ﷺ bersabda:

“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allāh ﷻ utuskan kepadaku adalah seperti hujan lebat yang turun ke bumi.

Sebagian tanah itu baik; ia menyerap air lalu menumbuhkan banyak tanaman dan rumput.

Sebagiannya lagi keras namun mampu menampung air sehingga manusia bisa meminumnya, memberi minum ternak, dan bercocok tanam.

Dan sebagian tanah lainnya datar dan tandus; ia tidak menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanaman.”
*( HR. Al-Bukhārī dan Muslim )*


*Pelajaran dari Hadits*

Hadits ini menggambarkan tiga tingkatan manusia dalam menyikapi ilmu agama:

---
1. Karakter “Tanah yang Baik” – Tanah Naaqiyah

Yaitu hati yang bersih, mampu menyerap ilmu, lalu melahirkan amal, rasa takut kepada Allāh ﷻ, serta kebaikan bagi dirinya dan orang lain.
➡️ Inilah tingkatan tertinggi, hati yang hidup dan subur.


---
2. Karakter “Tanah Keras yang Menampung Air” – Ajādib

Ia tidak bisa menyerap ilmu, namun mampu membawa ilmu sehingga bermanfaat bagi orang lain—mengajarkan, menyampaikan, namun dirinya tidak beramal dengan sempurna.
➡️ Ilmunya bermanfaat bagi manusia, tetapi tidak menghidupkan hatinya sendiri.


---
3. Karakter “Tanah Tandus” – Qī’ān

Tidak menyerap ilmu dan tidak memberi manfaat.
Tidak beramal dan tidak peduli dengan ilmu.
➡️ Hati paling buruk, tidak baik di sisi Allāh ﷻ dan manusia.

---

Imām An-Nawawī رحمه الله berkata:
“Ilmu itu seperti air hujan, dan manusia seperti tanah.”
Siapa yang hatinya hidup, ia akan menumbuhkan ketaatan, ketakwaan, dan manfaat.


*Ayat Al-Qur'an yang Terkait*

قال الله تعالى:
﴿ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ ﴾
[الصف: 3]

“Amat besar kebencian di sisi Allāh ﷻ bahwa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan.”

Ayat ini sangat sesuai untuk karakter kedua dan ketiga.

---

Perkataan Imām Ibn Rajab رحمه الله

Beliau berkata:

“Ilmu yang bermanfaat adalah yang menghidupkan hati, menumbuhkan rasa takut kepada Allāh ﷻ, dan mendorong kepada amal. Adapun ilmu yang hanya dihafal namun tidak menggerakkan hati, maka itu menjadi hujjah atas pemiliknya.”
_*Majmū‘ Rasā’il Ibn Rajab*

____

Ilmu agama tidak cukup hanya dipelajari, tetapi harus diamalkan.

Penyakit terbesar penuntut ilmu adalah mengetahui tetapi tidak menjalankan.

Hati yang hidup akan selalu bertambah takut kepada Allāh ﷻ setiap kali ilmunya bertambah.



اللَّهُمَّ اجْعَلْ قُلُوبَنَا كَالْأَرْضِ الطَّيِّبَةِ، تَقْبَلُ عِلْمَكَ، وَتُنْبِتُ الطَّاعَةَ، وَتَنْشُرُ الْخَيْرَ، وَلَا تَجْعَلْنَا مِنَ الْقُلُوبِ الْقَاسِيَةِ الَّتِي لَا تَنْتَفِعُ بِعِلْمٍ وَلَا تَنْفَعُ خَلْقًا.

“Ya Allāh, jadikan hati kami seperti tanah yang baik; menerima ilmu-Mu, menumbuhkan ketaatan, dan menyebarkan kebaikan. Jangan Engkau jadikan kami termasuk hati yang keras—yang tidak mengambil manfaat dari ilmu dan tidak memberi manfaat bagi manusia.”


Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb

1 day ago | [YT] | 3

Sisian R.R. Rumi

" Seburuk apapun prilaku yang pernah dikerjakan dimasa lalu.. jangan pernah menyimpulkan tidak ada pintu untuk bertaubat, selalu terbuka.. jangan putus asa dari Rahmat Allah. Begitu kemudian kita kejar, itu dapat Rahmat, dosa diampuni, berubah hidupnya.."

*#RabuRajinMenabung*🌷

1 day ago | [YT] | 2

Sisian R.R. Rumi

" Kalau ujian makin berat, makin gelap, makin nyesek, sampai rasanya pengen nyerah. justru itu tandanya kamu udah dekat dengan titik terang. Sedikit lagi, sabar sebentar lagi, karena setelah ini ada kebaikan besar yang nunggu kamu.."

*#SelasaSelaluSabar*🌷

2 days ago | [YT] | 4

Sisian R.R. Rumi

*ONE DAY ONE HADITS*
```Selasa, 2 Desember 2025 / 11 Jumadil Akhir 1447 H```

_*Bahaya Mengikuti Hawa Nafsu & Panjang Angan-Angan*_


عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله ﷺ:
«يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَبْقَى مِنْهُ اثْنَتَانِ: الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ، وَالْأَمَلُ»
رواه مسلم


“Anak Adam akan semakin tua, namun dua perkara tetap ada dalam dirinya: rakus terhadap harta dan panjang angan-angan.”
*(HR. Muslim)*



*Pelajaran dari Hadits*

Beberapa pelajaran penting:

1. Hawa nafsu manusia cenderung tidak pernah puas, khususnya dalam harta. Nafsu selalu berkata: “Tambahkan lagi, tambahkan lagi.”

2. Panjang angan-angan membuat hati lalai dari akhirat karena merasa kehidupan masih panjang.

3. Kesempurnaan iman adalah membatasi angan-angan dan memperpendek harapan dunia.

4. Orang yang mengikuti hawa nafsu akan mudah jatuh kepada dosa, syahwat, dan kelalaian.

5. Mukmin sejati adalah yang memaksa dirinya tunduk pada syariat, bukan pada keinginan hawa nafsu.

*Ayat Al-Qur'an yang Terkait*

Tentang Bahaya Mengikuti Hawa Nafsu

قَالَ اللَّهُ ﷻ:
﴿ أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ ﴾
(الجاثية: 23)

“Allāh ﷻ berfirman:
“Sudahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan?”
*(QS. Al-Jāthiyah: 23)*


قَالَ اللَّهُ ﷻ:
﴿ ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ﴾
(الحجر: 3)

“Biarkanlah mereka makan dan bersenang-senang, dan dilalaikan oleh angan-angan panjang.”
*(QS. Al-Ḥijr: 3)*

---

•‘Alī رضي الله عنه

قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ:
«إِنَّمَا يُخَافُ عَلَيْكُمُ اثْنَتَانِ: اتِّبَاعُ الْهَوَى وَطُولُ الْأَمَلِ»
(حلية الأولياء)

“Yang paling aku takutkan menimpa kalian ada dua: mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan.”


•Al-Hasan Al-Bashrī رحمه الله

قَالَ الْحَسَنُ:
«مَا طَالَ أَمَلُ امْرِئٍ قَطُّ إِلَّا سَاءَ عَمَلُهُ»
(الزهد للإمام أحمد)

“Tidaklah seseorang panjang angan-angannya, kecuali buruk amalnya.”

•Ibn al-Qayyim رحمه الله

قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ:
«أَصْلُ كُلِّ خَطِيئَةٍ وَبَلِيَّةٍ: اتِّبَاعُ الْهَوَى وَطُولُ الْأَمَلِ»
(الداء والدواء)

“Asal segala dosa dan bencana adalah: mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan.”

---

Hawa nafsu membuat seseorang menolak kebenaran demi keinginan diri.

Angan-angan panjang melahirkan kelalaian, menunda taubat, dan meremehkan kematian.

Penyembuhnya adalah: ilmu, amal saleh, mengingat mati, dan mengingat akhirat.


اللهم إنا نعوذ بك من هوى النفس، ومن طول الأمل، ومن قلبٍ لا يخشع، وعينٍ لا تدمع، ودعاءٍ لا يُسمع، ونعوذ بك من علمٍ لا ينفع.
_*“Ya Allāh, kami berlindung kepada-Mu dari hawa nafsu, dari panjang angan-angan, dari hati yang tidak khusyuk, dari mata yang tidak menangis, dari doa yang tidak didengar, dan dari ilmu yang tidak bermanfaat.”*_


Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb

2 days ago | [YT] | 3

Sisian R.R. Rumi

Renungan Tentang Datangnya Ajal


Setiap manusia kerap merasa bahwa ajal masih jauh, seolah waktu selalu berpihak padanya, hingga ia pun sibuk memburu dunia dan lalai menyiapkan akhirat. Padahal kematian tak memilih usia, tak menunggu sakit, dan tak pernah berjanji akan datang besok. Karena itu, merenungi kefanaan hidup menjadi langkah terpenting sebelum pintu kesempatan tertutup selamanya.

Dalam perjalanan hidup yang melelahkan ini, sering kali kita menganggap bahwa usia masih panjang. Kita menata rencana-rencana dunia dengan rinci, seakan waktu adalah milik kita sepenuhnya. Padahal, beragam peristiwa di sekitar sudah cukup menjadi isyarat bahwa kematian tak pernah memiliki pola tetap. Betapa banyak orang yang kemarin masih bercita-cita, namun hari ini sudah tiada. Betapa banyak yang mengira masih diberi kesempatan panjang, namun tak pernah kembali untuk menyelesaikan rencananya. Inilah kenyataan yang terkadang luput dari hati yang sibuk mengejar gemerlap dunia. Kita lupa bahwa bumi yang kita pijak adalah saksi atas setiap langkah menuju pertemuan dengan ajal, sebuah pertemuan yang pasti dan tidak dapat ditawar.

Allah memberi peringatan melalui firman-Nya:
﴿كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ﴾
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.” (QS. Ali ‘Imran: 185).

Ayat ini menjadi panggilan kesadaran, bahwa hidup bukanlah tentang berapa lama kita tinggal di dunia, tetapi apa yang kita bawa saat meninggalkannya. Sesungguhnya kubur adalah tempat bagi segala usia. Ia menjadi hunian bagi bayi, remaja, dewasa, maupun orang tua. Ia menampung yang sehat maupun yang sakit, yang kaya atau miskin, yang rencananya panjang atau yang hidup seadanya. Tidak ada syarat untuk mati, karena kematian hanya membutuhkan satu hal: tibanya ketetapan Allah.

Rasulullah ﷺ bersabda:
﴿أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ﴾
“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (yaitu kematian).” (HR. Tirmidzi).

Hadis ini bukanlah seruan untuk menakut-nakuti, melainkan ajakan agar langkah kita lebih tertata. Dengan mengingat kematian, kita belajar memilih mana yang benar-benar penting untuk hidup ini. Kita sadar bahwa waktu bukanlah jaminan, tetapi titipan yang harus dikelola untuk kebaikan. Hari ini mungkin kita sehat, tetapi esok belum tentu kita mampu bangun untuk menyelesaikan satu menit saja dari rencana dunia yang kita buat.

Setiap detik, kematian bergerak mendekati kita tanpa suara. Ia tidak menunggu petang atau menanti pagi. Ia tidak hanya berkeliling di ruang perawatan rumah sakit, tetapi juga di tengah tawa keluarga, di perjalanan, di tempat kerja, di pasar, di rumah, di lautan, dan di daratan. Ia datang kepada laki-laki dan perempuan, yang kuat atau lemah, yang sibuk atau yang sedang beristirahat. Kita hidup dalam hitungan waktu yang bergerak konsisten, 60 detik setiap menit, tanpa pernah berhenti menuntun langkah kita mendekati batas akhir. Seakan setiap detik membawa pesan lembut sekaligus tegas: persiapkanlah diri sebelum semuanya terlambat.

Karena itulah para ulama mengingatkan bahwa dunia hanyalah tempat singgah. Ia seperti halte kecil dalam perjalanan yang sangat panjang menuju kampung akhirat. Allah berfirman:
﴿وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ﴾
“Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Ali ‘Imran: 185).

Bukan berarti kita tidak boleh berusaha, bekerja, atau bermimpi. Namun, kita diingatkan agar tidak larut dalam gemerlap dunia hingga lupa bahwa hidup memiliki tujuan lebih tinggi daripada sekadar mengejar kenyamanan sesaat. Keseimbangan antara dunia dan akhirat adalah tanda kecerdasan hati, karena hanya hati yang sadar kefanaan yang mampu melihat nilai hakiki kehidupan.

Kesempatan terbaik untuk menyiapkan bekal akhirat adalah sekarang, saat kita masih bernafas, saat lidah masih mampu berzikir, saat tangan masih bisa memberi, dan saat hati masih dapat bertaubat. Setiap sujud yang kita lakukan, setiap doa yang kita panjatkan, setiap infak yang kita keluarkan, menjadi cahaya yang kelak menyambut kita di alam yang tidak lagi menerima penyesalan. Rasulullah ﷺ bersabda:
﴿بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ﴾
“Bersegeralah melakukan amal-amal (kebaikan).” (HR. Muslim).

Inilah seruan agar kita tidak menunda-nunda, sebab penundaan adalah tipu daya hawa nafsu yang membuat manusia merasa masih memiliki banyak waktu.

Maka, renungan ini bukan sekadar mengingatkan tentang kematian, tetapi mengajak kita untuk lebih mencintai kehidupan yang sesungguhnya. Hidup yang diisi dengan kebaikan, dengan ibadah, dengan cinta kepada Allah, dengan sikap tulus kepada sesama, dan dengan amal-amal yang terus mengalir pahalanya. Saat nanti ajal datang mengetuk, kita berharap ia menemukan kita dalam keadaan siap, bukan dalam kelalaian. Kita berharap ia menjadi pertemuan yang damai, bukan penyesalan yang terlambat.

Dan pasti, pada akhirnya ia akan tiba. Satu-satunya pilihan kita hanyalah bagaimana menyambutnya dengan hati yang telah disiapkan, dengan iman yang dijaga, dan dengan amal yang menjadi teman terbaik dalam perjalanan menuju negeri abadi. Semoga Allah memberi kita taufik untuk mempersiapkan diri sebelum kesempatan itu tertutup selamanya. Amin.

2 days ago | [YT] | 2

Sisian R.R. Rumi

*ONE DAY ONE HADITS*
```Senin,1 Desember 2025 / 10 Jumadil Akhir 1447 H```

_*“Setan Menakut-nakuti Orang Beriman dengan Kefakiran”*_

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ:
«إِنَّ الشَّيْطَانَ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ، وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ»
(جزء من الحديث)

“Sesungguhnya setan menakut-nakuti kalian dengan kefakiran dan memerintahkan kalian kepada perbuatan keji.”
*(HR. al-Bukhārī dan Muslim)*


*Pelajaran dari Hadits*

1. Setan menanamkan rasa takut miskin ke dalam hati manusia, sehingga seseorang enggan berinfak, bakhil, dan merasa bahwa kebaikan akan membuatnya bangkrut.

2. Setan menghalangi jalan kebaikan — karena ia tahu bahwa infak termasuk amalan terbesar yang menghancurkan jalannya.

3. Setan ingin seorang mukmin sibuk menumpuk harta, bukan karena kebutuhan, tapi karena was-was yang ia tanamkan.

4. Orang beriman harus melawan rasa takut ini, karena rezeki sudah dijamin oleh Allāh ﷻ.

5. Hakikat harta adalah milik Allāh ﷻ — manusia hanyalah penjaga dan penerima titipan.

6. Infak tidak mengurangi harta, tetapi menumbuhkan keberkahan dan membuka pintu rezeki.

7. Semakin seseorang takut miskin karena infak, semakin ia tertipu oleh setan.


*Ayat Al-Qur'an yang Terkait*

Setan menakut-nakuti dengan kefakiran

قَالَ اللهُ تَعَالَى:
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاءِ ۖ وَاللَّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Allāh menjanjikan kepada kalian ampunan dan karunia. Adapun setan menjanjikan kefakiran dan memerintahkan kepada keji.”
*(QS. al-Baqarah: 268)*


Harta adalah titipan dari Allāh ﷻ

وَآتُوهُم مِّن مَّالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ

“Berikanlah kepada mereka dari harta Allāh, yang Allāh berikan kepada kalian.”
*(QS. an-Nūr: 33)*

Ayat ini menegaskan: harta yang ada di tanganmu sebenarnya milik Allāh, dan kamu hanyalah penjaga titipan.


Infakkanlah harta karena itu milik Allāh

آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُم مُّسْتَخْلَفِينَ فِيهِ

“Berimanlah kepada Allāh dan Rasul-Nya dan infakkanlah sebagian dari harta yang Allāh jadikan kalian sebagai khalifah (pengelola)-nya.”
*(QS. al-Ḥadīd: 7)*

______

•Ibnul Qayyim رحمه الله

قال ابن القيم:
«الْبُخْلُ أَصْلُ كُلِّ خَبِيثٍ، وَمَا دَخَلَ قَلْبًا إِلَّا أَفْسَدَهُ، وَإِنَّمَا يُوقِعُهُ الشَّيْطَانُ بِوَعْدِ الْفَقْرِ»

“Bakhil adalah sumber segala keburukan. Tidaklah ia masuk ke dalam hati kecuali ia merusaknya. Dan setanlah yang menjatuhkan manusia ke dalamnya dengan janji-janji kefakiran.”
*— Ighātsah al-Lahfān*


Rasa takut miskin ketika hendak berinfak adalah bisikan setan, bukan sifat orang beriman.

Semakin yakin seseorang bahwa hartanya milik Allāh ﷻ, semakin mudah ia berinfak.

Infak tidak mengurangi harta, bahkan menambah keberkahan dan menggugurkan dosa.

Orang yang melawan rasa takut ini termasuk ash-shādiqīn (orang-orang yang benar imannya).


اللَّهُمَّ طَهِّرْ قُلُوبَنَا مِنَ الْبُخْلِ، وَارْزُقْنَا قُوَّةَ التَّوَكُّلِ عَلَيْكَ، وَاجْعَلْ أَمْوَالَنَا سَبَبًا لِدُخُولِ رِضْوَانِكَ وَجَنَّتِكَ.
“Ya Allāh, sucikanlah hati kami dari sifat bakhil, berilah kami kekuatan tawakal kepada-Mu, dan jadikanlah harta kami sebagai sebab untuk meraih keridhaan-Mu dan surga-Mu.”


Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb

3 days ago | [YT] | 4