Selamat datang di **Piksi5220**, sebuah kanal yang menghidupkan kembali kisah-kisah fiksi, sejarah, dan legenda dari masa lalu. Di sini, Anda akan diajak untuk menjelajahi dunia mitos dan legenda yang telah mewarnai peradaban manusia sejak dulu. Setiap cerita membawa kita ke dalam petualangan epik, kisah kepahlawanan, misteri tak terpecahkan, hingga kejayaan kerajaan-kerajaan kuno. Baik kisah nyata maupun fiksi yang terinspirasi dari sejarah, kami hadirkan dengan narasi yang mendalam dan menggugah imajinasi. Jangan lewatkan cerita-cerita yang akan membawa Anda menelusuri waktu dan budaya yang penuh keajaiban!"
Fokus dari sebuah vidio yang kami buat adalah sebagai motivas,nilai nilai moral atau pelajaran.
adapun pembuatan vidio full bantuan AI mulai dari suara dan gambar, itu semua hanya sebuah ilustrasi belaka agar dapat menarik minat penonton,
Jangan lupa **Subscribe** dan nyalakan lonceng notifikasi 🔔 untuk terus mendapatkan update dari kami!
@Piksi5220
𝕮𝖊𝖗𝖎𝖙𝖆𝕱𝖎𝖐𝖘𝖎
Ternyata Singaparna Tasikmalaya pernah menjadi pusat kerajaan Sunda : Mengungkap isi prasasti geger hanyuang
Sri Jayabupati disebutkan bahwa Jayabupati alias Darmasiksa wafat di Pakuan sekitar tahun 1108 Masehi. Menurut Carita Parahiyangan, yang menggantikan Darmasiksa adalah Sang Lumahing Taman (yang dimakamkan di taman). Karena dimakamkan di taman yang berada di wilayah Ciamis, dapat dipastikan bahwa setelah wafatnya Darmasiksa, ibu kota kerajaan kembali dipindahkan dari Pakuan. Ke mana dan kapan?
Dalam Koropak 406 disebutkan bahwa sebelum berpindah ke Pakuan, Darmasiksa terlebih dahulu menobatkan Rajaputra di Saunggalah. Rajaputra inilah yang dimaksud sebagai Sang Lumahing Taman dalam Carita Parahiyangan. Jadi, dari Pakuan, pusat pemerintahan kembali dipindahkan ke Saunggalah pada tahun 1111 Masehi. Darmasiksa wafat pada tahun 1108. Selisih waktu tiga tahun ini masih tergolong wajar, karena Sang Lumahing Taman tentu beberapa waktu harus berada di Pakuan untuk menyelesaikan berbagai urusan, termasuk menunjuk pejabat yang akan memerintah di sana. Lamanya Sang Lumahing Taman berada di Pakuan kira-kira sama dengan lamanya Darmasiksa di Pakuan, yakni sekitar 78 atau 79 tahun. Tentunya ia sudah sangat lanjut usia. Maka masa pemerintahannya setelah Darmasiksa hanya sekitar enam tahun (1111–1117 atau 1108–1114).
Sebagaimana Sri Baduga yang sebelum menjadi Susuhunan Pajajaran telah menjabat sebagai Ratu Pakuan selama 55 tahun dan tidak berkenan berkedudukan di Kawali. Selain berbagai pertimbangan, hal itu tentu karena sudah terlanjur merasa betah. Oleh sebab itu, Prasasti Geger Hanjuang yang menobatkan putra Darmasiksa (Jayabupati) sebagai Susuhunan dapat dipastikan merupakan bentuk pengabdian Pajajaran di Saunggalah.
Saunggalah (yang berarti “rumah panjang”) sebenarnya adalah nama keraton. Dalam Carita Parahiyangan kadang disebut berada di Kuningan, kadang disebut di Arile. Apakah Kuningan yang sekarang atau Arile yang dekat Gunung Batara Guru? Hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut. Namun dalam Koropak 406 disebutkan batas-batas wilayahnya: di utara berbatasan dengan Hanggat dan hutan Cipalebakan; di selatan berbatasan dengan Gegergadung, Gegerhandiwung, dan Pasir Taritih di muara Cipager Jampang. Di sebelah timur berbatasan dengan Manglayang dan Padabeunghar. Pada bagian lain disebutkan bahwa Gegergadung dan Pasir Taritih berlanjut ke hulu Cilala, dan di sebelah barat berbatasan dengan Cipatujah dan Gunung Kendeng.
Dilihat dari lokasi dan nama-namanya, sangat mungkin Saunggalah berada di tempat yang sekarang bernama Saung—dengan toponimi kuno seperti Batara, Candi, Balékambang, Gedé (yang kini menjadi area persawahan)—yang termasuk wilayah Kecamatan Singaparna.
Siapakah Batari Hyang?
Yang pasti, ia adalah seorang istri yang masih kuat memegang adat istana Jawa Timur. Di sini ia terpaksa melakukan kompromi dengan adat Sunda. Intinya, di Jawa Timur ia bisa saja menjadi raja, tetapi menurut adat Sunda, raja harus laki-laki dan tidak boleh memiliki cacat fisik. Nasibnya serupa dengan Sempakwaja, yang meskipun merupakan anak sulung, tidak dapat menjadi raja karena cacat fisik (sumbing, ompong). Maka perannya dialihkan ke kedudukan Batara, sementara sang istri menjadi Batari Hyang. Dengan demikian, yang paling masuk akal adalah bahwa Batari Hyang merupakan istri utama Sang Lumahing Taman, putra sulung Darmasiksa.
Penutup
Dengan ketekunan menelusuri dan mengkaji ulang, prasasti yang sebelumnya tercecer bahkan seolah hilang dari panggung sejarah Sunda masih dapat ditata kembali dan ditempatkan secara proporsional. Dengan adanya prasasti yang berkaitan dengan masa Sri Jayabupati di Cibadak ini, sejarah Sunda tidak seharusnya hanya berpijak pada Galuh atau Pakuan saja, sebagaimana yang sering muncul dalam babad dan cerita pantun. Faktanya, Saunggalah sezaman dengan Galuh, bahkan pernah menjadi pusat pemerintahan Pajajaran. Kini dapat dipastikan bahwa perpindahan pusat kerajaan ke Kawali bukan dari Pakuan, melainkan dari Saunggalah. Dari Kawali barulah kemudian pusat kerajaan berpindah kembali ke Pakuan hingga masa keruntuhannya.
KATA KUNCI
Sejarah Pajajaran, Saunggalah, Kerajaan Sunda, Sri Jayabupati, Darmasiksa, Sang Lumahing Taman, Batari Hyang, Kerajaan Pajajaran abad ke-12, Pakuan Pajajaran, Kawali Galuh, perpindahan ibu kota kerajaan, Koropak 406, Carita Parahiyangan, prasasti Sunda kuno, sejarah Sunda kuno, pusat pemerintahan Pajajaran, Galuh dan Pajajaran, Singaparna sejarah, Ciamis sejarah kuno, Kuningan sejarah Sunda
TAG
#Saunggalah
#SejarahPajajaran
#KerajaanSunda
#SriJayabupati
#Darmasiksa
#SangLumahingTaman
#BatariHyang
#PakuanPajajaran
#KawaliGaluh
#SejarahSunda
#SundaKuno
#PrasastiSunda
#Koropak406
#CaritaParahiyangan
#SejarahNusantara
#PajajaranAbad12
#GaluhPajajaran
#CiamisKuno
#Singaparna
#SejarahIndonesia
3 days ago | [YT] | 87
View 0 replies
𝕮𝖊𝖗𝖎𝖙𝖆𝕱𝖎𝖐𝖘𝖎
Pada tahun 1579, Pakuan Pajajaran jatuh akibat serangan gabungan Banten, Cirebon, dan Demak. Prabu Nilakendra bersama putranya, Prabu Rayamulya, melarikan diri ke daerah selatan Sukabumi. Di sanalah Prabu Nilakendra menuruti wangsit yang kelak dikenal sebagai Wangsit Siliwangi. Sebagian besar penduduk pun terpaksa mengungsi.
Senapati Jayaprakosa berhasil meloloskan diri dengan membawa mahkota dan atribut Kerajaan Pajajaran ke Sumedang Larang. Benda-benda tersebut menjadi simbol keabsahan seorang raja Pajajaran dan diwariskan sebagai lambang legitimasi kekuasaan.
Selain mahkota, simbol terpenting adalah Batu Palangka Sriman Sriwacana, yaitu batu tahta yang digunakan dalam prosesi penobatan raja Pajajaran. Batu ini ditempatkan di kabuyutan kerajaan, dan di atasnya seorang raja duduk untuk diberkati oleh pendeta tertinggi.
Pasukan Maulana Yusuf dari Banten kemudian membawa Batu Palangka tersebut ke Keraton Surasowan. Tindakan ini menandai berakhirnya Pajajaran, sebab tanpa Palangka, penobatan raja baru di Pakuan tidak mungkin dilakukan. Dengan memiliki Palangka, Maulana Yusuf dianggap sebagai pewaris sah Pajajaran, terlebih ia masih keturunan Sri Baduga Maharaja.
Sementara itu, pakaian atribut kerajaan dibawa ke Kesultanan Cirebon. Hingga kini, Palangka Sriman Sriwacana masih dapat dijumpai di depan bekas Keraton Surasowan, Banten. Masyarakat setempat menyebutnya Watu Gigilang, yang berarti "mengkilap" atau "berseri".
Sumber:
1. Sumedang Larang (Wikipedia, 17 Maret 2010).
2. Sejarah Singkat Kabupaten Sumedang, situs resmi Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang (www.sumedang.go.id/, 17 Mei 2010).
3. Rintisan Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat, Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH, dkk. 1983–1984.
4. Bupati di Priangan – dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda, 2004.
5. Yoseph Iskandar, Sejarah Jawa Barat, Geger Sunten Bandung, 2005.
3 months ago | [YT] | 14
View 0 replies
𝕮𝖊𝖗𝖎𝖙𝖆𝕱𝖎𝖐𝖘𝖎
kerajaan besar di tanah Sunda yang berdiri tanpa peperangan, namun justru goyah karena pertengkaran dalam keluarganya sendiri? Inilah kisah Kerajaan Galuh, sebuah kerajaan yang lahir dari keturunan Tarumanagara, tumbuh dengan nilai-nilai spiritual, namun kemudian diguncang oleh intrik, aib, dan perebutan tahta. Sebelum Galuh berdiri, Kendan, adalah sebuah pusat awal yang menjadi cikal bakal para penguasa Sunda. Di sana hidup seorang tokoh bernama Resiguru Manikmaya, seorang resi yang disegani karena kepandaiannya dan kesalehannya. Ia kemudian menikah dengan putri Maharaja Suryawarman, raja Tarumanagara. Dari perkawinan inilah lahir garis keturunan yang nantinya mendirikan kerajaan Galuh. Maka, tidak heran jika dalam tradisi masyarakat Sunda, raja yang dekat dengan agama atau disebut minandita selalu mendapat tempat terhormat di hati rakyat. Mereka lebih menghormati raja yang berpegang pada “tetekon agama jeung darigama”, aturan agama dan laku spiritual, dibandingkan raja yang hanya sibuk dengan urusan kekuasaan semata. Kerajaan Galuh didirikan oleh Wretikandayun pada tahun 670 Masehi. Ia adalah seorang bangsawan bijaksana yang berhasil memerdekakan Galuh dari Sundapura tanpa menumpahkan darah. Inilah salah satu ciri khas Galuh: lahir dari kebijaksanaan, bukan dari peperangan.
3 months ago | [YT] | 27
View 0 replies
𝕮𝖊𝖗𝖎𝖙𝖆𝕱𝖎𝖐𝖘𝖎
Keberadaan Ki Tanu Jiwa, peletak dasar Kota Bogor, sejak dahulu telah tercatat dalam tradisi masyarakat lokal. Menurut Ucang Sumardi, pemilik buku kuna berisi catatan sejarah setempat, disebutkan bahwa Ki Tanu Jiwa dari Sumedanglarang datang ke wilayah hutan Pajajaran bukan untuk “ulun kumawula” kepada VOC, melainkan karena rindu dalam menelusuri jejak karuhun-nya.
Ki Tanu Jiwa, yang kemudian menjadi bupati pertama Kabupaten Bogor, adalah putra Santoan Peregong Jaya. Adapun Santoan Peregong Jaya merupakan salah satu putra Aji Mantri—yang makamnya berada di Cimalaka. Aji Mantri sendiri adalah putra mahkota Prabu Ragamulya, raja Pajajaran terakhir. Namun, Aji Mantri tidak diperkenankan terlibat dalam urusan politik. Ia diperintahkan oleh ayahandanya untuk menyerahkan mahkota Pajajaran, Binokasih Sanghyang Pake, kepada Prabu Geusan Ulun. Dengan demikian, Ki Tanu Jiwa yang kerap luput dari catatan sejarah resmi, sebenarnya adalah buyut dari raja Pajajaran terakhir.
Barangkali hal ini terjadi karena masyarakat tradisional sejak dulu dikenal sebagai “pelintas batas” yang andal. Jika ilmuwan sejarah terikat oleh etika akademik dan aturan tertentu, masyarakat tradisional justru mampu menembus batas-batas itu. Seperti yang dikatakan seorang sejarawan tradisional: “Tak ada orang yang sanggup menengok ke masa depan, sebab itu meramal namanya. Namun, untuk menengok ke masa silam, amat dimungkinkan.”
Kekayaan pengetahuan para pelintas batas ini dianggap lebih lengkap, sehingga masyarakat lebih dekat kepada mereka dibandingkan kepada sejarawan resmi. Terbukti, meski banyak buku ilmiah yang dihasilkan oleh kalangan akademisi, hanya sedikit yang benar-benar dibaca masyarakat. Hal ini bisa karena buku hasil penelitian berbiaya mahal sulit diperoleh, atau karena masyarakat memang kurang tertarik membacanya.
Sebagian juga beranggapan bahwa para sejarawan resmi kerap tidak membuka fakta sejarah secara utuh karena terikat berbagai kepentingan, termasuk kepentingan politik penguasa. Sementara itu, kepada “ilmuwan tradisional” masyarakat menaruh kepercayaan penuh, karena dianggap murni berusaha membuka tabir masa lalu apa adanya.
Maka, berita masa lalu yang dituturkan dari mulut ke mulut berkembang menjadi pengetahuan lokal yang sukar dibendung keyakinannya. Sejarah yang diyakini masyarakat tradisional ternyata bukan bersumber dari paparan para ahli sejarah resmi yang diakui pemerintah, melainkan dari penuturan lisan atau catatan karuhun mereka sendiri.
Disadur :
Oleh : Agus Setia Permana
Dari : Buklet Situs Batujaya, Kabupaten Karawang – Propinsi Jawa Barat, Penyusun Dra. Heni Fajria Rif’ati – Drs. Eddy Sunarto, Penyunting/Editor Dra. Wana Sundari.
Tag
#KiTanuJiwa #SejarahBogor #Pajajaran #Sumedanglarang #SejarahSunda #Karuhun #BogorHeritage #TradisiLisan #SejarahNusantara #SejarahLokal
3 months ago | [YT] | 7
View 0 replies
𝕮𝖊𝖗𝖎𝖙𝖆𝕱𝖎𝖐𝖘𝖎
Istilah Sunda
Penggunaan istilah Sunda saat ini seringkali tercampur dengan istilah Jawa Barat, padahal keduanya memiliki latar historis yang berbeda. Seiring waktu, terjadi perubahan pengertian dan penafsiran, sehingga menimbulkan kekeliruan. Bahkan istilah Sunda kadang dikonotasikan politis atau dianggap sukuisme, sehingga diganti dengan istilah Jawa Barat.
Sunda dalam Catatan Masa Lalu
Pada masa lalu, istilah Sunda digunakan untuk menyebut kawasan:
Sunda Besar → pulau berukuran besar: Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan.
Sunda Kecil → pulau di sebelah timur Jawa: Bali hingga Timor (Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, Rote, dll).
Menurut R.W. van Bemmelen (1949), Sunda merujuk pada dataran barat laut wilayah India Timur, sementara dataran tenggara dinamakan Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda (Circum Sunda Mountain System) sepanjang ±7.000 km.
Pandangan ini sering dikaitkan dengan teori Atlantis yang dipopulerkan oleh Stephen Oppenheimer (Oxford) dan Arysio Santos (Brazil). Beberapa penelitian genetika manusia menduga bahwa benua purba itu berada di wilayah Dataran Sunda.
Sunda dalam Prasasti dan Naskah Kuna
Istilah Sunda yang berarti wilayah di barat Jawa muncul pada abad ke-9 M, tercatat dalam Prasasti Kebon Kopi (Bogor), berbahasa Melayu Kuna. Disebutkan adanya penguasa bergelar Prahajian Sunda (tahun 854 M).
Selain itu, Prasasti Pasir Muara (536 M) menyebutkan pemulihan kekuasaan kepada Raja Sunda. Hal ini menunjukkan istilah Sunda sudah dipakai jauh sebelum masa Tarusbawa.
Raja-raja yang tercatat dalam prasasti antara lain:
Rajadiraja Guru
Purnawarman
Haji (Raja) Sunda
Sri Jayabupati
Batari Hyang
Prabu Niskala Wastu Kancana
Ningrat Kencana (Dewa Niskala)
Sri Baduga Maharaja
Kerajaan Sunda
Menurut naskah kuna (misalnya Nagarakretabhumi dan Pustaka Jawadwipa), pendiri Kerajaan Sunda adalah Tarusbawa (669–723 M). Ia adalah menantu Linggawarman, raja terakhir Tarumanagara. Tarusbawa dinobatkan dengan gelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa.
Namun, prasasti menunjukkan istilah Sunda sudah ada sebelum Tarusbawa, sehingga lebih tepat jika dikatakan ia hanya menghidupkan kembali istilah tersebut sebagai nama kerajaan.
Batas Wilayah Sunda
Bujangga Manik (abad 16) → batas timur Sunda adalah Cipamali (Brebes) dan Ciserayu (Serayu).
Tome Pires (1513) → menyebut Kerajaan Sunda mencakup setengah atau sepertiga Pulau Jawa.
Ekadjati → Sunda disebut sebagai wilayah barat Pulau Jawa (Jawa Kulon), yang pada masa kolonial disebut West Java.
Penyatuan Sunda & Galuh
Setelah pecahnya Tarumanagara, Sunda dikuasai Tarusbawa di barat Citarum, sementara Galuh di timur (Wretikandayun). Penyatuan kembali terjadi beberapa kali: masa Sanjaya, Manarah, Niskala Wastu Kancana, hingga Sri Baduga Maharaja.
Catatan Penting
Sunda bukan hanya Pajajaran.
Istilah Sunda sudah ada sejak awal abad ke-6 M.
Identitas Sunda lebih luas dari sekadar simbol Prabu Siliwangi.
Wilayah Sunda bahkan tercatat memiliki hubungan dengan Lampung.
📚 Sumber Bacaan:
Ekadjati, Edi S. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah), Jilid 1. Bandung: Pustaka Jaya, 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2–3. Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat.
Stephen Oppenheimer, Eden in the East. Jakarta: Ufuk Publishing, 2010.
Aryo Santos, Atlantis: The Lost Continent Finally Found. Jakarta: Ufuk Publishing, 2010.
🔑 Kata Kunci
Misteri Awal Kerajaan Sunda
Sejarah Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda kuno
Asal usul Sunda
Prabu Tarusbawa
Sejarah Nusantara
Sunda bukan hanya Jawa Barat
Kerajaan tertua di Jawa Barat
Pajajaran dan Tarumanagara
Peradaban Sunda di Nusantara
🏷️ Tag
#MisteriKerajaanSunda
#KerajaanSunda
#SejarahSunda
#SundaKuno
#SejarahNusantara
#SejarahIndonesia
#Pajajaran
#Tarumanagara
#Nusantara
#IndonesiaHistory
3 months ago | [YT] | 57
View 0 replies
𝕮𝖊𝖗𝖎𝖙𝖆𝕱𝖎𝖐𝖘𝖎
Tafsir Wangsit Siliwangi
1. Alinea Pertama: Tegal Buleud dan Ngahiyang
Alinea pertama Wangsit Siliwangi berbunyi:
“Anggeus di Tegal Buleud balad Pajajaran misah jadi opat bubuhan, anggeus Raja Pajajaran lajuna ngahiyang, Ki Lengser mah henteu puguh henjig.”
(Sampai di Tegal Buleud rombongan Pajajaran berpisah jadi empat kelompok, setelahnya Raja Pajajaran lantas ngahiyang. Sedangkan Ki Lengser tidak jelas hendak ke mana).
Sejarawan Anis Djatisunda menjelaskan bahwa menurut pantun Pajajaran Seuren Papan, Prabu Siliwangi dan rombongan bermaksud menyeberang ke Nusa Larang (Pulau Christmas). Namun di Tegal Buleud (sebelah selatan Cikaso, Jampang Tengah, Sukabumi), rencana itu batal karena air laut mendadak pasang. Di situlah Prabu Siliwangi ngahiyang setelah menyampaikan wangsitnya. Penjelasan ini sejalan dengan Pustaka Nusantara yang menyebut Pajajaran sirna setelah Prabu Siliwangi menghilang.
2. Penutur Wangsit
Ada perbedaan pandangan mengenai siapa penutur wangsit. Penulis berkeyakinan penuturnya adalah Prabu Suryakancana, sebab bila disampaikan raja sebelumnya berarti Pajajaran belum sirna. Sementara itu, Ketua Sawala Kandaga Kalang Sunda, Dharmasetiawan Natapradja, menyatakan wangsit diturunkan oleh Prabu Raga Mulya Seda/Puun Waliyulloh Ragasakti, yang makamnya dahulu berada di kaki Gunung Pangrango lalu dipindahkan ke Ciwidey.
3. Konteks Politik Nusantara Abad ke-16
Alinea pertama Wangsit Siliwangi sekaligus menggambarkan kondisi Nusantara kala itu. Islam berkembang pesat melalui dakwah dan perdagangan, dengan kerajaan-kerajaan bercorak Islam menguasai jalur strategis:
Banten dipimpin Syekh Maulana Yusuf (1570–1580).
Demak diperintah Sunan Prawoto, penerus Sultan Trenggono.
Cirebon dalam masa transisi Sunan Gunung Jati ke Fadhillah Khan.
Kutai Kartanegara dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545–1610), raja Kutai pertama yang masuk Islam.
Ternate berjaya di bawah Sultan Baabullah, pahlawan anti-Portugis.
Aceh dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar (1537–1571).
4. Krisis Internal Pajajaran
Wartawan senior Her Suganda menilai kejatuhan Pajajaran bukan hanya akibat serangan luar, melainkan puncak krisis internal. Sebelumnya, para raja berganti-ganti dengan karakter yang kontras:
Prabu Surawisesa (1521–1535): dipuji karena 15 kali memimpin perang.
Ratu Dewata (1535–1543): alim, vegetarian, lemah dalam politik.
Ratu Sakti (1543–1551): lalim, sering menghukum mati tanpa pengadilan, merampas harta rakyat.
Ratu Nilakendra (1551–1567): lemah, larut dalam kebatinan, sementara rakyat menderita kelaparan.
Kondisi buruk inilah yang diwarisi Prabu Raga Mulya/Suryakancana.
5. Kepemimpinan Demokratis
Prabu Suryakancana memilih jalan realistis: membiarkan rakyat menentukan masa depannya. Sikap ini mencerminkan kepemimpinan demokratis dan empatik. Mamat Supriatna (UPI) menilai pesan wangsit jelas: rakyat tidak harus taat buta, hanya patuh bila aturan pemimpin demi kebaikan bersama. Sang raja mampu emparik—merasakan penderitaan rakyat.
6. Tafsir Runtuhnya Pajajaran
Lucky Hendrawan menilai keruntuhan Pajajaran adalah runtuhnya konsep King of King Nusantara, bukan sekadar kerajaan di Jawa Barat.
Pangeran Djarikusumah melihat Sunda dalam tiga makna: cahaya/kebaikan, komunitas bangsa Sunda, dan wilayah geografis (Sunda Besar & Sunda Kecil).
Tom Finaldin menyimpulkan wangsit bukan seruan perang, melainkan pesan agar rakyat hidup berdampingan tanpa dendam.
7. Pajajaran Anyar
Ungkapan “dia kudu marilih pikeun hirup ka hareupna” menegaskan bahwa rakyat harus memilih jalan hidupnya. Pajajaran Anyar dimaknai bukan kerajaan baru di Jawa Barat, tetapi kebangkitan Nusantara.
Kang Ocha (Rd. Roza Rahmadjasa) menafsirkan ini sebagai kesadaran perubahan zaman.
Siklus kebangkitan terjadi tiap 400–500 tahun menurut kalender Sunda. Prediksi perubahan dimulai tahun 2017, ditandai bencana, penyakit, dan kejadian aneh.
Pangeran Ramadjati menegaskan Pajajaran Anyar berarti Nusantara dari Sabang sampai Merauke, bersatu dengan hukum (Pakuan), pemerintahan (Galuh), dan prinsip silih wangi.
8. Pantun Bogor dan Simbolisme
Dalam Pantun Bogor “Ronggeng Tujuh Kalasirna”, Ki Lengser mengatakan Pajajaran Tengah meski tak terlihat tetap ada dan harum namanya. Hal ini memperkuat keyakinan akan kebangkitan Pajajaran Anyar. Menurut Pangeran Ramadjati, sikap Prabu bukanlah kekalahan karena terdesak, tetapi penerimaan takdir (seseleh kana papasten).
9. Kesimpulan
Alinea pertama Wangsit Siliwangi tidak hanya menandai berakhirnya Pajajaran, tetapi juga mengandung visi jauh ke depan: pesan agar rakyat hidup berdampingan, menjaga martabat, dan menanti kebangkitan Pajajaran Anyar. Bukan kebangkitan kerajaan semata, melainkan kebangkitan Nusantara yang berpijak pada nilai silih wangi—saling menghormati dan menghargai.
3 months ago | [YT] | 27
View 1 reply
𝕮𝖊𝖗𝖎𝖙𝖆𝕱𝖎𝖐𝖘𝖎
Tafsir Wangsit Siliwangi
Kelompok pengikut Prabu Suryakancana yang berpisah ke sebelah barat dipimpin oleh tiga orang koko-lot atau sesepuh. Selain penegasan pada tiga orang sesepuh, ketiga sumber naskah seragam menceritakan bahwa kelompok yang berpisah ke sebelah barat ini adalah kelompok netral, alias tidak memihak kepada siapa pun. Kepada kelompok netral inilah Prabu Suryakancana menyuruh untuk menelusuri jejak-jejak Ki Santang.
Sang penutur Wangsit Siliwangi pun memprediksi bahwa keturunan dari kelompok sebelah barat inilah yang kelak menjadi pemberi tahu (panggeuing), baik kepada saudara-saudaranya, tetangga yang sebelumnya bersama-sama seia sekata semasa Kerajaan Pajajaran berjaya, maupun kepada seluruh Wangsa Sunda di mana pun berada yang hatinya tetap terjaga dan teguh pendiriannya.
Dari paparan ini muncul pertanyaan:
Siapa sebenarnya Ki Santang?
Mengapa jejaknya harus ditelusuri?
Keturunan dari kelompok di sebelah barat ini kelak akan menjadi pemberi tahu, tapi memberi tahu tentang apa?
Pertanyaan-pertanyaan itu akan ditemukan dalam alinea-alinea selanjutnya dari Wangsit Siliwangi, meski sebagian tetap mengandung teka-teki.
Para pengikut setia Prabu Suryakancana memang ada yang pergi ke sebelah barat. Sama seperti para pengikut yang tersebar ke tiga penjuru mata angin lainnya, kelompok ini pun mulai mendirikan permukiman, mempertahankan tradisi dan kebiasaan seperti pada masa Kerajaan Pajajaran. Bila kelompok yang bergerak ke arah barat ini adalah tipikal yang memegang teguh pendirian dan tidak berpihak, ingatan akan segera mengarah kepada Kasepuhan Banten Kidul, termasuk orang-orang Kanekes di dalamnya.
Sampai hari ini, masyarakat Kasepuhan Banten Kidul tetap memegang prinsip netral, tidak berpihak ke mana pun, termasuk dalam urusan politik. Dari masa ke masa, tidak pernah terdengar keterlibatan mereka secara langsung dalam politik dan pemerintahan, mulai dari masa Kesultanan Banten, Mataram Islam, Belanda, hingga Republik Indonesia.
Kasepuhan Banten Kidul mencakup beberapa desa tradisional dan setengah tradisional yang masih mengakui kepemimpinan adat setempat. Di antaranya: Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek, serta Kasepuhan Cibedug.
Kasepuhan Ciptagelar sendiri mencakup dua Kasepuhan lain, yakni Kasepuhan Ciptamulya dan Kasepuhan Sirnaresmi.
Visi Prabu Suryakancana yang memprediksi bahwa mereka yang pergi ke barat adalah orang-orang netral ternyata terbukti pada masyarakat Kasepuhan Banten Kidul. Namun apakah benar mereka inilah yang kelak memberi tahu tentang abad kebangkitan itu?
Prabu Suryakancana menyuruh tiga sepuh dalam rombongan pengikut yang bergerak ke barat untuk melacak jejak Ki Santang. Apakah mereka telah menemukan jejak Ki Santang? Siapa sebenarnya tiga sepuh yang memimpin rombongan ke barat itu?
Apabila Ki Santang yang dimaksud Prabu Suryakancana adalah Rakean Santang alias Raja Sangara—seperti argumentasi Tim Sawala Kandaga Kalang Sunda—maka dia tak lain adalah putra Sri Baduga Maharaja.
Tag
#WangsitSiliwangi #PrabuSuryakancana #KiSantang #RakeanSantang #SriBadugaMaharaja #SejarahSunda #KerajaanPajajaran #KasepuhanBantenKidul #Ciptagelar #Cisungsang #Cisitu #Cicarucub #Citorek #Cibedug #BudayaSunda #SejarahNusantara #WarisanBudaya #WangsaSunda
3 months ago | [YT] | 12
View 0 replies
𝕮𝖊𝖗𝖎𝖙𝖆𝕱𝖎𝖐𝖘𝖎
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih kepada Anda yang telah berkunjung dan berlangganan di channel fiksi5220. Dukungan Anda sangat berarti bagi perkembangan channel ini. Jangan lupa untuk menyukai, mengomentari, dan membagikan video ini jika dirasa bermanfaat.”
8 months ago | [YT] | 5
View 0 replies
𝕮𝖊𝖗𝖎𝖙𝖆𝕱𝖎𝖐𝖘𝖎
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua yang telah mendukung channel ini! Setiap like, komentar, dan subscribe dari kalian adalah motivasi terbesar bagi kami untuk terus berkarya. Perjalanan ini tidak akan berarti tanpa kalian yang selalu memberi semangat dan apresiasi. Mari kita terus belajar, berbagi, dan tumbuh bersama. Jangan pernah berhenti bermimpi dan berusaha, karena setiap langkah kecil membawa kita lebih dekat ke tujuan. Tetap semangat dan sukses selalu untuk kita semua!
9 months ago | [YT] | 3
View 0 replies
𝕮𝖊𝖗𝖎𝖙𝖆𝕱𝖎𝖐𝖘𝖎
Legenda Pedang Naga Puspa
kisah dari dunia persilatan yang sering dikaitkan dengan cerita-cerita silat klasik, terutama dalam budaya Tiongkok dan Nusantara. Namun, tidak ada satu versi resmi yang mendefinisikan legenda ini, karena bisa berbeda tergantung pada sumber dan pengarangnya. Secara umum, Pedang Naga Puspa sering digambarkan sebagai senjata sakti yang memiliki kekuatan luar biasa. Berikut beberapa unsur yang mungkin terdapat dalam legenda tersebut:
1. Asal-usul Pedang Naga Puspa
Konon, pedang ini ditempa dari logam langka yang hanya bisa ditemukan di puncak gunung tertentu atau di dasar danau mistis. Beberapa kisah menyebutkan bahwa pedang ini ditempa menggunakan api surgawi dan diberkahi oleh dewa-dewa atau pendekar sakti. Nama Naga Puspa mengisyaratkan bahwa pedang ini memiliki hubungan dengan kekuatan naga dan keindahan bunga puspa.
2. Kekuatan dan Keistimewaan
Pedang ini dipercaya memiliki beberapa kemampuan istimewa, seperti:
Mengeluarkan cahaya naga saat diayunkan.
Memiliki ketajaman luar biasa, mampu menebas besi dan baja seolah-olah hanya memotong kertas. Mampu mengendalikan angin atau api, tergantung pada legenda yang berkembang.
Hanya bisa digunakan oleh pendekar berhati murni—jika jatuh ke tangan orang jahat, pedang ini akan kehilangan kekuatannya atau malah membawa kehancuran bagi pemiliknya.
3. Perebutan di Dunia Persilatan
Sebagai senjata sakti, Pedang Naga Puspa sering menjadi rebutan para pendekar dan tokoh dunia persilatan. Dalam beberapa versi legenda, pedang ini pernah menyebabkan perang besar antar perguruan silat, atau menjadi kunci dalam mengalahkan tokoh jahat yang ingin menguasai dunia.
4. Pendekar Pemilik Pedang
Biasanya, pedang ini hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang telah melalui ujian berat, baik secara fisik maupun mental. Ia harus memiliki jiwa ksatria, keberanian, dan kesetiaan kepada kebenaran. Dalam beberapa cerita, pedang ini hanya bisa diambil setelah seseorang membuktikan dirinya dengan mengalahkan penjaga suci atau menyelesaikan teka-teki kuno.
Kesimpulan Legenda Pedang Naga Puspa merupakan kisah yang penuh dengan elemen petualangan, kesaktian, dan perjuangan antara kebaikan dan kejahatan. Meski tidak ada satu versi yang pasti, cerita ini tetap menjadi inspirasi bagi banyak kisah silat dan mitologi di berbagai budaya.
10 months ago | [YT] | 0
View 0 replies
Load more