Asli rasa tak sabar menunggu laga Timnas vs Arab Saudi. Berdebar-debar, karena inilah impian tampil di Piala Dunia. Cuma, sedikit kesal. Banyak prediksi memenangkan tuan rumah. Tapi, tenang, bola itu bulat. Siapkan kopi dan pisang goreng, malam ini kita begadang menyaksikan pasukan Patrick Kluivert beraksi.
Para pengamat bola kini seperti dukun statistik di padang pasir, haus data tapi kering empati. Dengan keyakinan setebal pasir Jeddah, mereka menabur angka kemenangan Arab Saudi seperti menabur kurma diskon Ramadhan. Ada yang bilang 2-0, ada yang lebih dermawan kasih 1-1, seolah hasil imbang itu sudah bisa ditukar dengan gelar pahlawan nasional. Media pun kompak, dari Radar Jogja sampai Bola.com, dari Kompas.com sampai Progres.id, semua menyanyikan lagu yang sama, Arab Saudi menang, Indonesia bertahan. Lengkap dengan nada minor pesimistis dan harmoni statistik yang dingin, seperti opera gurun yang disutradarai Google Analytics.
Tapi di balik angka dan tabel itu, ada kisah yang tak bisa diukur pakai Excel. Jay Idzes cs bukan turis sepak bola yang salah mendarat di Jeddah. Mereka datang bukan bawa koper, tapi bawa dendam sejarah, dendam manis yang dibungkus tekad nasionalisme dan sedikit drama diaspora. Emil Audero absen, betisnya sedang mogok kerja. Tapi Maarten Paes berdiri di bawah mistar seperti bodyguard mimpi seluruh negeri. Calvin Verdonk cedera leher, Ole Romeny baru pulih 95%, tapi semangat mereka membara 200%. Matematika boleh protes, tapi semangat Garuda memang tidak tunduk pada logika kalkulator.
Patrick Kluivert, sang pelatih, tidak sedang main catur di pinggir lapangan. Ia sedang menguji keyakinan, mental lebih tajam dari statistik. Ketenangan lebih menakutkan dari tekanan. Arab Saudi memang punya Salem Al-Dawsari, kaki ajaib pemilik 25 gol yang bisa mengubah arah pertandingan. Tapi Indonesia punya Jay Idzes, Marc Klok, Rafael Struick, nama-nama yang mungkin belum dihafal FIFA, tapi sudah ditulis di hati jutaan pendukung Garuda.
Cuaca Jeddah panas, lembap, dan licin oleh keringat pesimis. Tapi Timnas sudah terbiasa hidup di negeri tropis dengan suhu kritik 40 derajat dan kelembapan ekspektasi 90 persen. Mereka cuma punya dua hari latihan penuh karena 15 pemain diaspora baru mendarat seperti pasukan yang dipanggil lewat WhatsApp darurat. Tapi dua hari cukup untuk menyusun tekad, cukup untuk mengingat, mereka bukan sekadar pemain bola, mereka simbol, simbol perlawanan, simbol kebanggaan, simbol bahwa Indonesia datang bukan untuk berpartisipasi tapi untuk mengganggu narasi.
Di tanah air, suasana sudah seperti lebaran kedua, bedanya, kali ini yang disembelih bukan kambing, tapi rasa kantuk nasional. Dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Jogja, Malang, Solo, Bekasi, Bogor, Pontianak hingga Banjarmasin, semua kota bergetar. Nobar merajalela di kafe, taman kota, dan pusat komunitas. Di Denpasar, Ultras Garuda Bali sudah siap pesta bola di Mum Food, Jalan Mahendradatta, lengkap dengan live music, flare, chant, dan bass drum. Sudah 250 orang mendaftar, kuota bisa 600. Di bioskop CGV Grand Indonesia, Bekasi Trade Center, dan Foodmosphere Banten, nobar eksklusif digelar dengan tiket Rp95.000 dan promo Buy 2 Get 1 Free, karena nonton bola lebih nikmat kalau teriakannya mengguncang AC.
Meski kick-off dini hari, fans tetap gas tanpa kompromi. “Mau main jam berapa pun, tetap dukung,” ujar pentolan Ultras Garuda Bali sambil mengecat wajah merah putih. Nobar bukan sekadar nonton, tapi ritual nasional, doa bersama, syal dibentangkan, dan harapan dititipkan agar Garuda lolos ke Piala Dunia 2026.
Malam ini, ketika bola mulai bergulir dan kamera menyorot wajah-wajah yang tak gentar, ingatlah: banyak prediksi Arab Saudi menang, tapi Garuda tetap kalem. Sebab Garuda tidak terbang untuk menghindari badai, Garuda terbang di tengah badai. Kalau angin mulai ribut, mungkin bukan karena Garuda takut. Mungkin karena badai sedang panik melihat siapa yang datang.
Luar biasa Timnas voli putra kita. Bayangkan, wak. Udah kalah dua set, banyak matikan tv, eh bisa comeback, dan akhirnya menang atas Thailand. Mari simak perjuangan Rivan cs di ajang AVC National Cup, dan tentu sambil seruput kopi tanpa gula.
Tanggal 18 Juni 2025. Lokasi: Isa Bin Rashid Hall, Manama, Bahrain. Waktu: hampir magrib, langit mulai gelap, dan jantung para penonton Indonesia sudah copot entah ke mana.
Di layar kaca, Timnas Voli Putra Indonesia sudah tertinggal 0-2 dari Thailand. Skor dua set pertama, 22-25, 22-25. Terlihat jelas, beberapa pemilik warung kopi sudah mulai ganti channel ke sinetron. Anak-anak SD mulai menulis status, “Indonesia kenapa sih cupu banget?” Bahkan ayam tetangga mulai berdiri lebih tinggi dari biasanya, tanda ejekan kosmik.
Thailand seperti naga dari timur yang sedang panas-panasnya. Smash mereka meledak bagai petasan cap Rudal Fattah 1 Iran. Servis mereka tajam seperti kutukan mantan. Pemain kita? Ya, mereka seperti belum minum teh manis, hilang rasa, kehilangan arah. Tapi seperti kata pepatah Tionghoa yang tidak ada sumbernya, “Pendekar yang belum kalah dua set, belum pantas bangkit.”
Lalu, sesuatu yang sakral terjadi. Jeff Jiang Jie, pelatih asal negeri asal-usul kungfu, mengangkat tangan kanan ke langit. Ia memejamkan mata. Para pemain pun tahu, ini bukan waktu biasa, ini saatnya memanggil Jurus Siluman Set Ketiga.
Masuklah Rivan Nurmulki, ia bukan manusia biasa. Ia adalah Opposite Hitter dengan notot terbuat dari baja ringan dan tekad yang diasah oleh kesepian latihan. Ia menepuk dada tiga kali, menandakan bahwa ia siap mengusir aura kekalahan dari udara Bahrain. Di belakangnya, Farhan Halim, lincah, gesit, wajahnya seperti bintang FTV tapi tangannya seperti tangan dewa perang. Mereka berdua adalah duet maut, semacam Yin dan Yang versi voli.
Set ketiga dimulai. Tiba-tiba Indonesia bangkit. Smash Rivan membelah lapangan seperti meteor jatuh. Farhan meloncat dan menghantam bola seolah-olah bola itu adalah utang negara. 25-19! Bukan hanya kemenangan set, tapi pembalikan nasib, semacam revolusi batin nasional. Di sisi Thailand, wajah-wajah mereka mulai seperti WiFi yang kehilangan sinyal.
Set keempat. Indonesia melaju, tapi Thailand belum habis. Mereka menyerang dengan segala ilmu servis terkutuk dari lembah Mekong. Tapi Jeff Jiang tak tinggal diam. Ia memberi isyarat dengan bahasa tubuh ala film silat, jari telunjuk ke langit, jari tengah ke arah bench. Masuklah Jasen Natanael Kilanta! Setter yang dikenal bisa memutar ritme seperti DJ Arab naik haji.
Laga berlangsung ketat. Net bergoyang, lantai hall bergetar. Doni Haryono, sang intel voli yang pernah main di Liga Thailand, membaca gerakan lawan seperti membaca buku yang pernah ia tulis. Akhirnya... 25-23 untuk Indonesia! Skor imbang 2-2. Di warung kopi, tivi-tivi menyala kembali. Air mata netizen jatuh ke nasi padang mereka.
Set kelima adalah set langit. Tak ada waktu santai. Ini seperti duel terakhir dalam film kolosal, darah, keringat, dan smash terakhir. Garuda tampil beringas. Rama Fazza, Tedy Oka, dan Hendra Kurniawan naik level seperti karakter yang baru ambil item legendaris di Mobile Legends. Smash demi smash menghujani Thailand.
Akhirnya, 15-8! Bukan sekadar angka, tapi puncak dari kisah epik yang akan dikenang cucu-cucu netizen di masa depan.
Thailand roboh. Habis. Tamat. Mereka seperti lawan silat yang tak menyangka bahwa pendekar yang terkapar bisa bangkit dan mengirim tendangan naga di menit terakhir. Thailand kini dipastikan gagal lolos dari fase grup. Indonesia? Melaju gagah ke babak perempat final, siap menghadapi tuan rumah Bahrain, seperti pahlawan yang belum selesai menulis takdirnya.
Ini bukan cuma laga voli. Ini novel wuxia, ini drama silat, ini puisi berdarah yang ditulis dengan smash dan servis. Ini adalah cara Indonesia berkata kepada dunia, “Kami mungkin tertinggal... tapi kami tidak pernah selesai.”
Isu mutasi empat pulau dari Aceh ke Sumut, belum reda. Bahkan, semakin panas dengan turunnya ratusan massa dari Gerakan Aceh Melawan (GAM), bukan GAM yang dulu, ya. Mari kita ungkap aksi GAM menekan pemerintah.
Di bawah terik matahari Banda Aceh yang menyengat seperti amarah rakyat yang sudah terlalu lama dipendam, ratusan massa dari GAM bergerak. Mereka bukan berjalan, tapi mengguncang bumi dengan tapak kaki penuh dendam sejarah. Lokasinya, depan Kantor Gubernur Aceh. Isunya, empat pulau dicaplok Sumatera Utara lewat prosedural Kementerian Dalam Negeri.
SK Mendagri Nomor 300.2.2.2138 Tahun 2025 jadi biang kerok. Dalam surat sakti itu, empat pulau di Aceh Singkil, pulau-pulau yang bahkan mungkin belum sempat masuk Google Maps dengan benar, tiba-tiba diakui masuk administrasi Sumut. Tanpa diskusi. Tanpa permisi. Bahkan tanpa sepucuk surat maaf formal seperti yang biasa diucapkan mantan waktu minta balikan.
Apa tanggapan rakyat Aceh? Sederhana, wak! “Kalau pulau bisa dipindah seenak jidat, berarti keadilan bisa dijual di marketplace dengan promo flash sale!”
Aksi dimulai dari Komplek Taman Ratu Safiatuddin. Di sana, mahasiswa, aktivis, ibu-ibu, hingga orang-orang yang tak disebutkan dalam SK Mendagri, berkumpul. Mereka membawa spanduk, bendera Bintang Bulan, dan suara lantang yang bahkan bisa bikin Google Translate bingung menerjemahkannya.
Sambil meneriakkan “Merdeka!” dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan, massa bergerak menuju Kantor Gubernur. Arus lalu lintas lumpuh. Bukan karena lubang jalan seperti biasa, tapi karena rakyat lagi-lagi harus mengajarkan pemerintah pusat cara membaca peta.
Empat pulau yang dipermasalahkan itu adalah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Semua berada di kawasan Aceh Singkil. Tiba-tiba, di tahun 2025, mereka berubah status tanpa pindah tanah, hanya pindah provinsi.
Ini bukan sekadar kesalahan koordinat. Ini tragedi kartografi nasional!
Para demonstran menolak dengan keras keputusan Mendagri Tito Karnavian. Mereka meminta Tito diperiksa, diberhentikan, dan dikirim ke kelas Geografi ulang. Beberapa bahkan menyarankan agar beliau ikut lomba menggambar peta buta tingkat SD untuk mengasah kembali insting kenegaraannya.
Tak hanya soal pulau, massa juga menolak rencana pembangunan empat batalyon TNI di Aceh, yang dinilai bisa memicu ketegangan baru. “Kami ingin damai, bukan parade tank!” teriak salah satu orator, sambil menabuh gendang perjuangan di atas mobil bak terbuka.
Isu otonomi khusus juga diangkat. Mereka mendesak agar Otsus Aceh dipermanenkan sebagai jaminan perdamaian. Bahkan, di tengah demonstrasi, seruan referendum menggema, seperti kaset lama yang kembali diputar saat semua solusi modern gagal memberi rasa adil.
Presiden Prabowo Subianto, dalam pernyataan diplomatis, menyebut akan mempertimbangkan "aspirasi rakyat dan aspek historis". Sebuah kalimat yang lebih mirip status WA pejabat dari rencana konkret. DPR bilang masalah ini akan selesai dalam “pekan depan” kalau tidak ditunda karena rapat paripurna mendadak berubah jadi coffee break nasional.
Tapi rakyat Aceh tak sabar menunggu. Karena bagi mereka, ini bukan sekadar soal empat pulau. Ini soal kehormatan. Soal tanah yang ditinggal para leluhur. Soal hak yang tak bisa ditakar dengan batas administratif.
Kalau keadilan bisa ditentukan dengan surat SK, maka kita semua bisa jadi provinsi mandiri hanya dengan niat dan notulen rapat RT.
Hari ini, Aceh tidak hanya berdiri. Ia menggugat. Bukan dengan peluru. Tapi dengan bendera, suara, dan tanya, "Masih adakah keadilan, atau sudah karam bersama empat pulau yang dilupakan?"
Ingat, wak! Negara bisa menggeser garis di atas peta, tapi tidak bisa menggeser amarah rakyat yang merasa dipermainkan.
Aceh tidak sedang marah karena tanah, tapi karena dipermalukan. Diputuskan sepihak. Diperlakukan seperti anak kost yang kamarnya dipindah ke gudang tanpa permisi.
Pada akhirnya, semua menunggu titah Prabowo. Kecuali, ngopi.
Gini-gini saya juga tergabung di NGO yang konsen pada isu lingkungan. Saya sedikit terharu dan mengeryitkan jidat mendengar penjelasan Gus Ulil. Ia bicara tambang nikel di Pulau Gag. Bahasanya penuh muatan fiqh, wajar sih. Kali ini saya mencoba menanggapi pemikiran beliau. Ya, semacam antitesis dan mudahan berbuah sistesis. Siapkan lagi kopi tanpa gulanya, wak!
Gus Ulil Abshar Abdalla, tokoh NU yang pintar dan nyastra. Saya suka tulis-tulisan beliau. Beliau tiba-tiba turun ke lubang tambang dalam debat publik soal nikel di Pulau Gag, Raja Ampat. Di hadapan Greenpeace dan di program ROSI Kompas TV, beliau menyampaikan dalil berat, “Tambang itu jangan ditolak total, lihat mana yang maslahat dan mana yang mafsadah.” Wah, filsafat fiqih bertemu batu nikel. Sebuah kolaborasi yang sangat... spiritual sekaligus geologis.
Tapi, mari kita lihat kenyataan di tanah. Pulau Gag itu kecil, Gus. Luasnya cuma 64 km², bukan segede Kalimantan atau Papua. Ekosistemnya sangat rapuh, dikelilingi karang yang menjadi rumah bagi lebih dari 1.500 spesies ikan, termasuk ikan napoleon yang langka dan ogah selfie. Tambang nikel di sana? Sudah terbukti membawa kerusakan lingkungan sejak zaman PT Gag Nikel masih aktif sebelum izinnya dicabut pada 2023. Air keruh, tanah longsor, dan warga adat kehilangan akses ke hutan sagu. Tapi tenang, kata Gus Ulil, itu semua bisa dikelola. Dikelola! Seperti mengelola kemarahan istri saat ketahuan bawa istri kedua, asal sabar, katanya.
Gus Ulil menyamakan aktivis lingkungan dengan wahabi. Nah ini, absurdnya sudah level multiverse. Kalau ada anak muda yang bilang, “Jangan tebang mangrove!” langsung dicap ekstremis. Padahal, yang ekstrem itu siapa? Aktivis yang pelihara penyu atau perusahaan yang pengen ledakin tanah adat demi nikel?
Alasan pamungkasnya luar biasa: “Negara maju juga dulu pakai tambang.” Wah! Mari kita tiru Inggris abad ke-19, yang membakar batu bara seperti bakar sate. Atau Amerika yang membabat hutan suku Indian demi jalur kereta. Karena kalau negara maju berdosa, maka kita juga harus ikut berdosa demi keadilan karbon!
Pertanyaannya, “Apakah maslahat itu diukur dari angka ekspor nikel atau indeks kebahagiaan anak kampung yang kehilangan sungai? Apakah keadilan sosial itu berarti membagi-bagikan longsor secara merata?”
Maslahat macam apa yang membenarkan hilangnya ribuan hektare hutan primer Papua Barat hanya demi “kemajuan”? Apakah pembangunan berarti membangun rumah sakit untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan tambang yang sama?
Lebih baik kita sebut ini sebagai Fiqih Ekstraktif, mazhab baru di mana ekskavator disamakan dengan malaikat pencatat maslahat, dan debu tambang dianggap parfum modernisasi. Jika Gus Ulil mau konsisten, maka mohon untuk mengkaji ulang konsep istihsan sambil berdiri di tengah tanggul tailing yang jebol saat hujan.
Lingkungan bukan tempat kompromi antara profit dan pahala. Alam tidak paham debat maqashid syariah. Dia hanya tahu, ditebang, dia mati. Dikeruk, dia habis. Dirusak, ya dia marah. Ketika bumi murka, tidak ada fiqih yang bisa menahan longsor, banjir, dan krisis pangan.
Jadi Gus, mohon maaf. Maslahat tidak lahir dari lubang tambang. Ia tumbuh dari pohon yang tidak ditebang, sungai yang tidak dicemari, dan suara warga yang tidak dibungkam atas nama pembangunan. Kalau itu disebut ekstrem, maka biarlah kami jadi ekstremis bagi bumi. Karena satu penyu yang hidup lebih maslahat dari seribu rapat konsultasi publik tambang yang penuh formalitas.
Tolonglah, gus! Jangan bungkus ekskavator dengan jubah maslahat. Karena pada akhirnya, tanah yang dibongkar tak bisa dikembalikan dengan doa-doa fiqhiyah. Alam tidak mengenal dalil furu'iyah, ia hanya mengenal sebab-akibat.
Jangan sampai kita berakhir menjadi bangsa yang mengaji tafsir sambil menyaksikan longsor dari balkon rumah subsidi. Sambil berkata, “Ini sudah takdir.” Padahal dulu kita yang tanda tangan izin.
Ini tulisan saya yang kedua tentang empat pulau yang berpindah tangan. Semula milik Aceh, lalu dikawinkan paksa dengan Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Respons netizen luar biasa, rame. Pemerintah lewat Mendagri bukannya melunak, seperti ingin menantang rakyat Aceh. Kisah empat pulau ini semakin seru, dan siapkan kopi tanpa gulanya agar otak selalu encer dan waras.
Darwis, seorang nelayan renta yang biasa menyapa ombak dengan senyum dan doa. Kini duduk termenung di pinggir perahunya yang rapuh. Ia menatap Pulau Panjang, Mangkir Gadang, Lipan, dan Mangkir Ketek. Empat sahabatnya sejak bocah, empat pulau yang kini bukan lagi bagian dari Aceh. Bukan karena erosi, bukan karena gempa, tapi karena keputusan administratif selembar kertas, Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Begitulah caranya pulau bisa dipindah, seperti kursi di ruang rapat, tanpa perasaan.
Secara logika dan geografi, yang selama ini dipercaya oleh rakyat kecil tapi tidak oleh kekuasaan, empat pulau ini berjarak hanya 4,7 kilometer dari daratan Aceh. Tapi kini mereka diceraikan secara paksa dan dijodohkan dengan Sumatera Utara yang jauhnya 22 kilometer. Dalihnya, tata batas yang katanya disepakati entah oleh siapa. Peta bisa berubah, garis bisa ditarik ulang, sejarah bisa dihapus, semua tergantung siapa yang pegang spidol dan siapa yang duduk di belakang meja.
Saat rakyat Aceh masih menggigil marah, datanglah parade proyek dan kepentingan. Deposit fosfat Rp 2,3 triliun di Mangkir Gadang, menurut ESDM (2024). Terumbu karang dengan 287 spesies ikan hias (LIPI, 2023). Sumber air tawar di Pulau Panjang. Penyu belimbing yang dilindungi dunia, tapi tidak oleh negara. Belum lagi proyek resor mewah Rp 800 miliar di Mangkir Ketek, dermaga misterius di Pulau Panjang, serta desas-desus cadangan migas yang lebih harum dari aroma kopi Gayo. Semua itu kini berpindah tangan. Siapa di balik semua ini? Silakan tanya Gubernur Sumut Bobby Nasution, menantu presiden yang tampaknya punya akses khusus ke Google Maps versi elite.
Namun drama ini mencapai klimaks baru saat Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, bertemu langsung dengan Bobby Nasution di Banda Aceh. Pertemuan yang mestinya jadi forum diplomasi, berubah jadi konten TikTok. Mualem, dengan gayanya yang tenang tapi tajam, terekam meninggalkan Bobby yang baru saja mendarat, seperti karakter utama film gangster yang menolak ajakan damai mafia rival. Publik Aceh? Meledak tepuk tangan virtual. Banyak yang memuji sikap Mualem. “Itu baru pemimpin Aceh! Bukan pemimpin yang jual pulau seperti jual pulsa!” seru seorang warganet. Di tengah krisis legitimasi dan pengkhianatan administratif, TikTok mendadak menjadi platform diplomatik paling jujur di republik ini.
Di Jakarta? Tito Karnavian, sang Mendagri, memberikan solusi pamungkas. Silakan gugat ke PTUN. Seolah-olah rakyat Aceh punya waktu, duit, dan tim kuasa hukum layaknya perusahaan tambang. Seolah nelayan seperti Darwis bisa menyusun gugatan sambil menjahit jaring dan mengusir ombak. Seolah pengadilan administratif adalah tempat rakyat mencari keadilan, bukan tempat keadilan dikompromikan oleh waktu dan tumpukan perkara.
Sementara itu, Presiden Prabowo masih diam. Mungkin menunggu pulau-pulau itu benar-benar pindah sendiri. Atau mungkin menunggu laut mendidih, rakyat menggila, dan sejarah menulis ulang dirinya sebagai penonton paling tenang di tengah badai. Karena di negeri ini, menjadi diam adalah strategi. Menjadi netral adalah seni. Membiarkan rakyat kehilangan hak atas nama “administrasi” adalah kebijakan.
Kini, empat pulau itu masih ada. Masih bisa dilihat. Tapi tidak lagi bisa diakui. Seperti sahabat lama yang diambil orang, lalu dibilang, “Kamu terlambat. Kami sudah sah di mata hukum.” Tapi rakyat Aceh tidak lupa. Sejarah tidak akan diam. Karena laut bisa tenang, tapi dendam geografis... bisa jadi gelombang yang tak terpetakan.
Lupakan sejenak kekalahan Timnas 0-6 dari Jepang. Kita udah lolos round 4, kok. Sekarang, berikan tepuk bergemuruh untuk besti kita, negeri jiran yang baru saja melumat Vietnam 4-0. Luar biasa negeri Upin Ipin. Yok, disimak narasinya sambil ngopi lagi, wak!
Siapa sangka kekalahan menyakitkan 0-3 dari Tanjung Verde ternyata hanyalah awalan dari plot twist terbaik dalam sejarah sepakbola Asia Tenggara. Malaysia, yang sempat dijadikan bahan cemoohan seantero jagat maya, bangkit dari puing-puing kekalahan seperti Phoenix yang minum tongkat Ali, lalu menyulap Bukit Jalil menjadi panggung eksekusi bagi Vietnam. Ya, Vietnam, tim yang sebelas tahun lamanya jadi momok, tempat Malaysia menabung dendam sambil pura-pura senyum di tiap turnamen.
Selama berhari-hari, lini masa media sosial dipenuhi ejekan untuk Harimau Malaya. Ada yang bilang mereka cuma kucing rumahan pakai kostum loreng. Ada juga yang menyarankan Malaysia ganti nama jadi "Timnas Coba Lagi Tahun Depan." Namun, Malaysia tidak menjawab dengan klarifikasi panjang atau video motivasi. Mereka menjawab dengan cara paling brutal, mencetak empat gol tanpa balas ke gawang musuh bebuyutan. Empat gol! Itu bukan skor, itu bentuk balas dendam yang ditulis dengan tinta emas di atas rumput Bukit Jalil.
Pertandingan dimulai dengan tensi tinggi. Babak pertama masih aman. Malaysia seperti sedang menahan amarah, main dengan sabar dan penuh filosofi, seperti tim yang sadar bahwa membalas luka itu perlu seni dan waktu yang tepat. Tidak ada gol, tapi percayalah, ada dendam yang sedang dipanaskan di dapur. Begitu peluit babak kedua berbunyi, Malaysia berubah jadi tim yang kerasukan semangat nenek moyang. Joao Figueiredo membuka skor dengan cara yang dingin, seolah dia mencetak gol sambil mengingatkan Vietnam bahwa ini bukan laga persahabatan. Rodrigo Holgado kemudian tampil seperti karakter game FIFA dengan rating 99. Dua gol dia cetak dengan ketenangan seorang juru taksi yang tahu jalan tikus ke mana saja. Vietnam tak berkutik. Mereka mencoba menyerang, tapi pertahanan Malaysia dijaga oleh Facundo Garces yang tampaknya telah bersumpah untuk tidak membiarkan siapa pun lewat, kecuali dengan surat izin resmi dari kerajaan.
Di tengah semua itu, berdirilah Arif Aiman, pemain lokal yang memutuskan hari itu dia ingin main seperti pahlawan Marvel. Dia tidak hanya memberi assist, tapi memberi harapan bahwa sepakbola Malaysia bisa dipandu oleh bakat dalam negeri, bukan sekadar naturalisasi. Dribelnya penuh gaya, umpannya seperti puisi yang ditulis saat hujan turun pelan-pelan. Di atas lapangan, dia tidak bermain bola, dia sedang membuat seni.
Vietnam? Mereka datang dengan nama-nama eksotis yang biasanya bikin deg-degan, tapi kali ini mereka seperti lupa cara menyerang. Mungkin terlalu lama menjadi dominan membuat mereka lupa bahwa sepakbola itu roda. Kadang kau di atas, kadang kau dihajar 4-0 di tanah orang.
Kemenangan ini bukan sekadar kemenangan. Ini pengumuman bahwa Malaysia sudah muak jadi bahan lelucon. Ini pesan bahwa sepakbola bukan soal siapa paling sering viral, tapi siapa yang bisa berubah dari bulan ke bulan. Dalam dunia sepakbola yang absurd, di mana Tanjung Verde bisa menghancurkan mimpimu dan Vietnam bisa jadi korban pelampiasan, Malaysia memilih jalur paling dramatis, dari tragedi ke kejayaan dalam satu minggu. Begitulah sepakbola. Kadang kau tertawa, kadang kau dibikin kagum oleh tim yang kemarin sempat kau hina. Malam ini, kita semua harus mengakui satu hal, Harimau Malaya sedang lapar. Mereka baru saja kenyang setelah menyantap Nguyen empat gol tanpa ampun.
Saya merindukan Timnas kita bisa bertemu Malaysia. Pasti seru dan mendebarkan, penuh emosi, serta gengsi.
Kalbar diobok-obok KPK. Macam jagoan. Para pejabat pun ketar-ketir. Mulai ada membungkam media. Ada daerah, tak ada berita diproduksi wartawan dari aksi KPK ini. Luar biasa, wak! Mari kita dalami sambil seruput kopi tanpa gula.
KPK tampil gagah selama empat hari dari tangal 25 sampai 29 April 2025. Lembaga anti rasuah ini mengobok-obok tiga kabupaten: Mempawah, Sanggau, dan Pontianak. Tiga daerah itu mendadak terasa seperti pusat jagat antikorupsi nasional. Ini seolah-olah Jakarta sudah bersih dari dosa dan hanya menyisakan semilir angin harapan.
Ada 16 lokasi digeledah. Enam belas! Jumlah yang lebih banyak dari jumlah jaket almamater mahasiswa baru. KPK menyasar proyek infrastruktur yang katanya sarat penyimpangan. Katanya ada kerugian negara. Katanya aliran dana mencurigakan. Katanya lagi, seperti biasa, mereka sedang mengumpulkan bukti. Entah bukti itu akan dibawa ke pengadilan, atau disimpan dalam laci dan dilupakan ketika perhatian publik sudah pindah ke skandal artis yang kawin siri. Yang jelas, tiga orang sudah naik tingkat menjadi tersangka. Sementara enam lainnya masih saksi. Selebihnya masih bergentayangan dalam status abu-abu seperti hantu di rumah kosong.
Yang membuat rakyat mengangkat alis, bukan soal siapa yang ditangkap, tapi siapa yang tidak. Seperti biasa, KPK tampaknya punya kebiasaan lama: menangkap pion, membiarkan raja. Kepala Dinas? Jelas jadi sasaran empuk. Mereka itu seperti prajurit lapangan yang disuruh tanda tangan, lalu ditinggal begitu saja oleh atasannya yang kini entah di mana. Mereka bukan dalang, bukan pengambil keputusan utama, bahkan uang hasil korupsinya saja belum tentu mereka rasakan. Tapi ya begitulah hukum, tajam ke bawah, tumpul ke atas, dan tumpulnya itu bukan tumpul biasa, tapi setajam hati mantan yang sudah move on.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, angkat bicara. Katanya mereka sedang serius menyelidiki aliran dana dan pihak-pihak yang terlibat. Tapi sampai sekarang, siapa yang terlibat itu masih dibungkus misteri, seperti isi gulungan daun lontar zaman Majapahit. Informasi yang keluar cuma potongan-potongan. Satu pernyataan di TV, satu di media daring, dan sisanya? Silakan tebak sendiri seperti kuis berhadiah kosong.
Publik mulai bertanya-tanya, kenapa KPK begitu garang di daerah, tapi melempem di pusat? Di Jakarta, pusat anggaran, pusat kekuasaan, pusat segala pusat, KPK seperti kehilangan gigi. Tidak ada penggeledahan megah, tidak ada operasi diam-diam. Padahal, semua orang tahu, korupsi paling brutal justru bersarang di sana. Lalu kenapa hanya daerah yang selalu jadi ladang operasi? Apakah KPK hanya kuat kalau jauh dari gedung DPR? Apakah sinyal keberanian mereka hilang begitu masuk tol dalam kota?
Rakyat menonton ini semua sambil mengunyah pisang goreng. Terhibur, geli, marah, lalu pasrah. Sudah jadi tradisi: setiap tahun ada operasi, ada tangkapan, tapi yang besar-besar tetap bebas merdeka. Yang kuat tetap kuat. Yang licik tetap jadi panutan. KPK, yang dulu dipuja-puja sebagai garda terakhir antikorupsi, kini perlahan-lahan seperti tokoh sinetron tua, masih tampil, tapi aktingnya tidak lagi menyentuh hati.
Kalau nuan (anda) bertanya, kapan korupsi besar akan ditangkap? Mungkin jawabannya adalah, nanti, kalau sudah tidak penting lagi. Atau kalau sudah pensiun. Atau kalau sudah tidak punya kuasa. Atau mungkin, tidak akan pernah.
Sementara itu, mari kita nikmati episode Kalbar ini. Karena seperti biasa, ending-nya bisa ditebak, pion tumbang, raja diam, dan KPK pulang dengan koper penuh dokumen, dan penuh harapan kosong.
Setelah 26 Nyawa Melayang, India Memilih Perang dengan Pakistan
Yang suka keribunan, ngumpul di sini lagi, ya! Ini tentang perang sungguhan. Bukan perang antar jenderal purnawirawan yang sudah didamaikan oleh Prabowo semalam. Perang antar jenderal aktif India dan Pakistan yang sudah memerintahkan prajuritnya, baku hantam. Yang suka damai, cukup seruput kopi dari kejauhan.
“Bang, itu benaran India menyerang Pakistan? Lalu, gimanalah nasib Sara Ali Khan?”
Waduh, negara sudah perang, ente masih mikirkan si cantik Sara. Ini serius, wak. Perang modern, perang dua negara yang sama-sama memiliki rudal nuklir. Bukan rudal model di sini, ups.
Kita mulai ceritanya, wak. Pada pagi yang seharusnya tenang tanggal 7 Mei 2025, India memilih untuk tidak ikut trend damai-damaian. Mereka malah meluncurkan rudal. Bukan satu, bukan dua, tapi rudal beneran ke wilayah Pakistan dan Kashmir. Bukan untuk menyapa. Bukan untuk menakut-nakuti. Tapi untuk benar-benar meledakkan apa yang mereka sebut sebagai “kamp teroris”. Sebuah bentuk salam perkenalan yang agak kasar, seperti menggedor pintu tetangga pakai granat.
Alasan India sederhana dan sangat film Bollywood, balas dendam. Serangan teroris di Pahalgam, Kashmir pada 23 April 2025 telah menewaskan 26 wisatawan. India menuduh kelompok berbasis Pakistan sebagai dalang di balik tragedi tersebut. Pakistan, seperti biasa, membantah dengan gaya khasnya, “Kami tidak tahu-menahu. Mungkin mereka nyasar.” Tapi India tak mau tahu. Mereka sudah lama menahan rasa. Seperti sinetron prime time, emosi yang ditahan terlalu lama pasti meledak. Kali ini dalam bentuk rudal ke Kotli, Ahmadpur Timur, Muzaffarabad, Bagh, dan Muridke. Hasilnya? Delapan orang tewas, 35 lainnya terluka, termasuk warga sipil yang sedang rebahan dan tidak tahu apa-apa.
Pakistan pun tidak tinggal diam. Mereka langsung menyalakan alarm “Mode Dendam Maksimal” dan menembak jatuh lima jet tempur India, termasuk Rafale yang katanya kebal petir, Sukhoi SU-30 yang bisa salto di udara, dan MiG-29 yang sialnya sedang dalam misi selfie. PM Pakistan, Shehbaz Sharif, tampil di depan layar dengan wajah penuh minyak wangi perang, berkata: “Kami tidak takut. Kami akan membalas. Kami sudah menyiapkan nuklir, eh, maksudnya... nasi kebuli.”
Dunia menyaksikan semua ini dengan gaya klasik, prihatin maksimal, aksi minimal. PBB langsung mengadakan rapat darurat di ruang penuh AC dan sandwich mahal. Hasilnya? Seruan de-eskalasi yang sama sekali tidak terdengar oleh rudal-rudal yang masih beterbangan. Amerika Serikat menawarkan mediasi sambil memoles kontrak jual beli senjata. Rusia tertawa kecil, lalu mengirimkan brosur rudal S-400 ke kedua negara. Tiongkok? Sibuk menilai potensi ekonomi dari reruntuhan nanti. Korea Utara justru merasa tersaingi.
Para analis militer pun mulai mengutip peta, sejarah, dan jumlah hulu ledak nuklir masing-masing negara. “India punya 164 hulu ledak, Pakistan 170,” kata seorang analis sambil menggigit pulpen. “Kalau meledak semua, bisa bikin bumi muter balik ke zaman dinosaurus.” Tapi tentu saja, tak ada yang mau perang nuklir, kecuali mereka yang hidup di dunia maya dan mengira perang hanya seperti main Call of Duty.
Sementara itu, rakyat jelata di kedua negara mulai bersiap. Bukan untuk perang, tapi untuk antre beli bahan makanan, karena tahu harga bawang akan lebih mematikan dari misil. Di media sosial, netizen India dan Pakistan saling berbalas meme, karena dalam tragedi pun, manusia tak bisa jauh dari komedi.
Di tengah semua ini, alien di galaksi tetangga menyimpulkan bahwa spesies manusia adalah makhluk paling absurd: sudah tahu punya senjata nuklir, tapi masih bertengkar soal wilayah yang bahkan belum bisa masuk Google Maps dengan benar.
Apa yang Terjadi Bila Dunia Diisi Orang Baik Semua?
Followers saya pasti orang baik semua. Bahkan, mereka juga setiap hari mengajak orang berbuat baik. Mereka menginginkan seluruh dunia berisi orang baik. Nah, apa yang terjadi bila semua orang menjadi baik. Sambil seruput kopi americano di kafe baru, Teduh Coffee di Jalan Dansen Pontianak, mari kita kupas orang baik.
Bayangkan, wak! Wahai jiwa-jiwa yang mendamba utopia, sebuah dunia tempat semua orang adalah... baik. Bukan baik dalam artian yang berselimut kemunafikan sosial, bukan pula baik karena takut masuk neraka. Tapi baik yang murni. Baik yang steril. Baik yang dijual dalam toples kaca kedap udara, disimpan dalam museum moralitas universal.
Di dunia ini, tidak ada orang mencuri. Maka matilah profesi gembok. Tukang patri gulung tikar, dan CCTV tinggal mitos masa lalu. Koruptor tinggal legenda urban yang dibisikkan ibu-ibu kepada anaknya agar cepat tidur, "Nak, dulu ada makhluk bernama pejabat nakal. Tapi itu dulu, sebelum kiamat nurani digelar dan dunia dijajah para malaikat."
Semuanya saling memberi jalan. Di persimpangan, kendaraan saling berhenti tanpa ada yang ingin duluan. Lalu macetlah dunia karena terlalu sopan. “Silakan kau dulu.” “Ah, tidak, saya saja menunggu kiamat.” Begitu dialognya.
Di warung makan, semua orang membayar lebih. Tukang nasi goreng naik haji setiap bulan karena diberi tips sebesar pajak negara Skandinavia. Uang melimpah, tapi kehilangan makna karena tak ada lagi yang mencuri, menipu, atau menjual keputusasaan lewat iklan whitening serum.
Orang-orang saling memaafkan bahkan sebelum ada yang bersalah. Maka pengadilan menjadi teater kosong, hakim menggantung palu di dinding museum keadilan yang berkarat oleh terlalu banyak kedamaian. Penjara pun berubah fungsi menjadi tempat meditasi kaum galau, karena tak ada lagi yang bisa ditangkap selain kenangan masa lalu.
Politikus tidak berjanji palsu. Mereka menepati semuanya. Sayangnya, tanpa janji palsu, rakyat kehilangan bahan gosip. Warung kopi bangkrut, Facebook sepi, Tiktok jadi padang tandus yang tak lagi dihuni makhluk-makhluk berkepala dua dan jari cepat. Satire menjadi yatim piatu, karena semua terlalu baik untuk ditertawakan.
Media kehilangan berita. Judul-judul jadi garing, “Hari Ini Semua Orang Tersenyum Lagi.” “Anjing dan Kucing Berdamai, Akan Menikah Pekan Depan.” Drama Korea digantikan oleh tayangan dua manusia saling menghormati dan berbicara dengan intonasi lembut selama 16 episode. Membosankan.
Ente tahu apa yang terjadi pada para filsuf? Mereka pun bunuh diri... karena tak ada lagi kontradiksi. Dunia terlalu sempurna. Tak ada yang bisa dipikirkan. Semua pertanyaan telah dijawab oleh satu kata, kebaikan. Mereka mati tercekik oleh absennya ironi.
Ah, dunia di mana semua orang baik. Sebuah taman surgawi yang membosankan, tempat tidak ada lagi puisi lahir dari luka, tidak ada lagi revolusi dari kehancuran, dan tidak ada lagi seniman yang mabuk oleh getirnya eksistensi. Dunia steril. Dunia penuh aroma disinfektan moralitas.
Karena sejatinya, kebaikan yang terlalu merata bukanlah kebaikan, melainkan kutukan yang dibungkus pita emas. Sebab tanpa kejahatan, kita tak tahu caranya bersyukur. Tanpa luka, kita tak kenal indahnya sembuh. Tanpa kehadiran si jahat, siapa yang akan kita tunjuk sebagai musuh, saat cermin menunjukkan wajah kita sendiri?
Apakah ente orang baik? Atau, kadang baik, kadang jahat? Silakan jawab sendiri sambil ngopi, wak.
Malam takbiran 30 Maret 2025 lalu, seharusnya jadi malam penuh damai, penuh ketupat dan kegembiraan top-up e-wallet untuk beli camilan lebaran. Tapi nasabah Bank DKI malah disambut dengan tragedi digital nasional, layanan ambruk total. Transfer antar bank? Tidak bisa. Top-up? Seperti hilang ke lubang hitam. Sistem error ini bukan hanya gangguan kecil, tapi bencana finansial selevel kiamat kecil bagi rakyat urban yang hidupnya tergantung pada QRIS dan GoPay.
Keluhan membanjiri media sosial. Netizen panik, marah, bingung, dan sebagian mulai mempertanyakan eksistensi digital banking. Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, langsung turun tangan seperti pahlawan super dengan jas dinas. Dalam gerakan cepat, ia mencopot Direktur IT Bank DKI, Amirul Wicaksono, dan memanggil audit independen serta menyerahkan kasus ini ke Bareskrim. Mungkin beliau berharap bisa menemukan jawaban apakah ini sabotase musuh negara atau cuma kelalaian biasa yang terlalu mahal.
Pihak manajemen Bank DKI bersumpah tidak ada kebocoran data atau dana nasabah yang hilang. Tapi fakta di lapangan berkata lain, layanan belum sepenuhnya pulih. Bahkan, seminggu kemudian juga demikian. Rakyat disuruh percaya sistem yang tak bisa top-up e-wallet, padahal anaknya nangis minta beli skin Mobile Legends.
Belum selesai skandal itu reda, dari barat Pulau Jawa, Bank BJB memunculkan skenario yang lebih menggiurkan. Direktur Utama, Yuddy Renaldi, bersama empat kroninya, ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Kasusnya? Pengadaan iklan fiktif tahun 2021–2023 dengan kerugian negara mencapai Rp222 miliar. Iklan apa yang dibikin? Belum jelas. Tapi kalau sampai Rp222 miliar, mungkin mereka menyewa Beyonce untuk jadi bintang iklan tabungan simpanan pelajar.
KPK tidak main-main. Mereka menyita dokumen penting, kendaraan mewah, dan deposito senilai Rp70 miliar. Tak ketinggalan, nama mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, ikut disebut-sebut dalam pusaran kasus ini. Ia belum ditetapkan sebagai tersangka, tapi sudah mulai diperiksa sebagai saksi. Netizen pun terbagi dua, yang percaya ini konspirasi politik, dan yang percaya ini hanyalah puncak gunung es dari proyek "ngiklan sambil nyolong".
Kalau dua bank belum cukup bikin jantung berdebar, Bank Kalbar datang menyumbang babak tragedi. Mantan Dirutnya jadi DPO (Daftar Pencarian Orang) karena terlibat dugaan korupsi pengadaan tanah. Kerugian negara? Rp27,3 miliar. Tak besar dibanding BJB, tapi cukup buat bikin 10 SD lengkap dengan lapangan voli dan tempat wudhu.
Belum selesai skandal itu, Direktur Utama saat ini, Rokidi, tiba-tiba mengundurkan diri. Alasannya? Bukan tekanan publik, tapi kanker usus besar stadium 3B. Ia menyatakan tak sanggup lagi melanjutkan tugas dan harus fokus ke perawatan. Yang dramatis, ia pamit tepat sehari sebelum Lebaran. Sebagian publik terharu, sebagian lagi skeptis. Netizen pun bertanya, “Apakah ini strategi menghilang yang sah, atau hanya babak lanjutan dari kisah duka perbankan daerah?”
Mari kita simpulkan, wak! Tiga bank daerah, tiga kisah kacau. Satu error digital yang bikin rakyat kelimpungan. Satu iklan fiktif miliaran rupiah. Satu pengunduran diri dibalut penyakit berat.
Di negeri ini, perbankan bukan sekadar urusan keuangan. Ini sudah jadi “reality show” dengan genre thriller-politik-medis-komedi. Semuanya ada. Yang belum ada cuma satu, kejelasan.
Selamat datang di Republik Satire Finansial. Jangan lupa cek saldo, siapa tahu masih ada. Kalau masih ada, tandanya malam minggu kita masih bisa ngopi.
FACE “FACEWORLD” WORLD
Banyak Prediksi Arab Saudi Menang, Timnas Kalem
Asli rasa tak sabar menunggu laga Timnas vs Arab Saudi. Berdebar-debar, karena inilah impian tampil di Piala Dunia. Cuma, sedikit kesal. Banyak prediksi memenangkan tuan rumah. Tapi, tenang, bola itu bulat. Siapkan kopi dan pisang goreng, malam ini kita begadang menyaksikan pasukan Patrick Kluivert beraksi.
Para pengamat bola kini seperti dukun statistik di padang pasir, haus data tapi kering empati. Dengan keyakinan setebal pasir Jeddah, mereka menabur angka kemenangan Arab Saudi seperti menabur kurma diskon Ramadhan. Ada yang bilang 2-0, ada yang lebih dermawan kasih 1-1, seolah hasil imbang itu sudah bisa ditukar dengan gelar pahlawan nasional. Media pun kompak, dari Radar Jogja sampai Bola.com, dari Kompas.com sampai Progres.id, semua menyanyikan lagu yang sama, Arab Saudi menang, Indonesia bertahan. Lengkap dengan nada minor pesimistis dan harmoni statistik yang dingin, seperti opera gurun yang disutradarai Google Analytics.
Tapi di balik angka dan tabel itu, ada kisah yang tak bisa diukur pakai Excel. Jay Idzes cs bukan turis sepak bola yang salah mendarat di Jeddah. Mereka datang bukan bawa koper, tapi bawa dendam sejarah, dendam manis yang dibungkus tekad nasionalisme dan sedikit drama diaspora. Emil Audero absen, betisnya sedang mogok kerja. Tapi Maarten Paes berdiri di bawah mistar seperti bodyguard mimpi seluruh negeri. Calvin Verdonk cedera leher, Ole Romeny baru pulih 95%, tapi semangat mereka membara 200%. Matematika boleh protes, tapi semangat Garuda memang tidak tunduk pada logika kalkulator.
Patrick Kluivert, sang pelatih, tidak sedang main catur di pinggir lapangan. Ia sedang menguji keyakinan, mental lebih tajam dari statistik. Ketenangan lebih menakutkan dari tekanan. Arab Saudi memang punya Salem Al-Dawsari, kaki ajaib pemilik 25 gol yang bisa mengubah arah pertandingan. Tapi Indonesia punya Jay Idzes, Marc Klok, Rafael Struick, nama-nama yang mungkin belum dihafal FIFA, tapi sudah ditulis di hati jutaan pendukung Garuda.
Cuaca Jeddah panas, lembap, dan licin oleh keringat pesimis. Tapi Timnas sudah terbiasa hidup di negeri tropis dengan suhu kritik 40 derajat dan kelembapan ekspektasi 90 persen. Mereka cuma punya dua hari latihan penuh karena 15 pemain diaspora baru mendarat seperti pasukan yang dipanggil lewat WhatsApp darurat. Tapi dua hari cukup untuk menyusun tekad, cukup untuk mengingat, mereka bukan sekadar pemain bola, mereka simbol, simbol perlawanan, simbol kebanggaan, simbol bahwa Indonesia datang bukan untuk berpartisipasi tapi untuk mengganggu narasi.
Di tanah air, suasana sudah seperti lebaran kedua, bedanya, kali ini yang disembelih bukan kambing, tapi rasa kantuk nasional. Dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Jogja, Malang, Solo, Bekasi, Bogor, Pontianak hingga Banjarmasin, semua kota bergetar. Nobar merajalela di kafe, taman kota, dan pusat komunitas. Di Denpasar, Ultras Garuda Bali sudah siap pesta bola di Mum Food, Jalan Mahendradatta, lengkap dengan live music, flare, chant, dan bass drum. Sudah 250 orang mendaftar, kuota bisa 600. Di bioskop CGV Grand Indonesia, Bekasi Trade Center, dan Foodmosphere Banten, nobar eksklusif digelar dengan tiket Rp95.000 dan promo Buy 2 Get 1 Free, karena nonton bola lebih nikmat kalau teriakannya mengguncang AC.
Meski kick-off dini hari, fans tetap gas tanpa kompromi. “Mau main jam berapa pun, tetap dukung,” ujar pentolan Ultras Garuda Bali sambil mengecat wajah merah putih. Nobar bukan sekadar nonton, tapi ritual nasional, doa bersama, syal dibentangkan, dan harapan dititipkan agar Garuda lolos ke Piala Dunia 2026.
Malam ini, ketika bola mulai bergulir dan kamera menyorot wajah-wajah yang tak gentar, ingatlah: banyak prediksi Arab Saudi menang, tapi Garuda tetap kalem. Sebab Garuda tidak terbang untuk menghindari badai, Garuda terbang di tengah badai. Kalau angin mulai ribut, mungkin bukan karena Garuda takut. Mungkin karena badai sedang panik melihat siapa yang datang.
Foto Ai, hanya ilustrasi
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
2 months ago | [YT] | 2
View 0 replies
FACE “FACEWORLD” WORLD
Kalah 2 Set, Timnas Comeback Singkirkan Thailand
Luar biasa Timnas voli putra kita. Bayangkan, wak. Udah kalah dua set, banyak matikan tv, eh bisa comeback, dan akhirnya menang atas Thailand. Mari simak perjuangan Rivan cs di ajang AVC National Cup, dan tentu sambil seruput kopi tanpa gula.
Tanggal 18 Juni 2025. Lokasi: Isa Bin Rashid Hall, Manama, Bahrain. Waktu: hampir magrib, langit mulai gelap, dan jantung para penonton Indonesia sudah copot entah ke mana.
Di layar kaca, Timnas Voli Putra Indonesia sudah tertinggal 0-2 dari Thailand. Skor dua set pertama, 22-25, 22-25. Terlihat jelas, beberapa pemilik warung kopi sudah mulai ganti channel ke sinetron. Anak-anak SD mulai menulis status, “Indonesia kenapa sih cupu banget?” Bahkan ayam tetangga mulai berdiri lebih tinggi dari biasanya, tanda ejekan kosmik.
Thailand seperti naga dari timur yang sedang panas-panasnya. Smash mereka meledak bagai petasan cap Rudal Fattah 1 Iran. Servis mereka tajam seperti kutukan mantan. Pemain kita? Ya, mereka seperti belum minum teh manis, hilang rasa, kehilangan arah. Tapi seperti kata pepatah Tionghoa yang tidak ada sumbernya, “Pendekar yang belum kalah dua set, belum pantas bangkit.”
Lalu, sesuatu yang sakral terjadi. Jeff Jiang Jie, pelatih asal negeri asal-usul kungfu, mengangkat tangan kanan ke langit. Ia memejamkan mata. Para pemain pun tahu, ini bukan waktu biasa, ini saatnya memanggil Jurus Siluman Set Ketiga.
Masuklah Rivan Nurmulki, ia bukan manusia biasa. Ia adalah Opposite Hitter dengan notot terbuat dari baja ringan dan tekad yang diasah oleh kesepian latihan. Ia menepuk dada tiga kali, menandakan bahwa ia siap mengusir aura kekalahan dari udara Bahrain. Di belakangnya, Farhan Halim, lincah, gesit, wajahnya seperti bintang FTV tapi tangannya seperti tangan dewa perang. Mereka berdua adalah duet maut, semacam Yin dan Yang versi voli.
Set ketiga dimulai. Tiba-tiba Indonesia bangkit. Smash Rivan membelah lapangan seperti meteor jatuh. Farhan meloncat dan menghantam bola seolah-olah bola itu adalah utang negara. 25-19! Bukan hanya kemenangan set, tapi pembalikan nasib, semacam revolusi batin nasional. Di sisi Thailand, wajah-wajah mereka mulai seperti WiFi yang kehilangan sinyal.
Set keempat. Indonesia melaju, tapi Thailand belum habis. Mereka menyerang dengan segala ilmu servis terkutuk dari lembah Mekong. Tapi Jeff Jiang tak tinggal diam. Ia memberi isyarat dengan bahasa tubuh ala film silat, jari telunjuk ke langit, jari tengah ke arah bench. Masuklah Jasen Natanael Kilanta! Setter yang dikenal bisa memutar ritme seperti DJ Arab naik haji.
Laga berlangsung ketat. Net bergoyang, lantai hall bergetar. Doni Haryono, sang intel voli yang pernah main di Liga Thailand, membaca gerakan lawan seperti membaca buku yang pernah ia tulis. Akhirnya... 25-23 untuk Indonesia! Skor imbang 2-2. Di warung kopi, tivi-tivi menyala kembali. Air mata netizen jatuh ke nasi padang mereka.
Set kelima adalah set langit. Tak ada waktu santai. Ini seperti duel terakhir dalam film kolosal, darah, keringat, dan smash terakhir. Garuda tampil beringas. Rama Fazza, Tedy Oka, dan Hendra Kurniawan naik level seperti karakter yang baru ambil item legendaris di Mobile Legends. Smash demi smash menghujani Thailand.
Akhirnya, 15-8! Bukan sekadar angka, tapi puncak dari kisah epik yang akan dikenang cucu-cucu netizen di masa depan.
Thailand roboh. Habis. Tamat. Mereka seperti lawan silat yang tak menyangka bahwa pendekar yang terkapar bisa bangkit dan mengirim tendangan naga di menit terakhir. Thailand kini dipastikan gagal lolos dari fase grup. Indonesia? Melaju gagah ke babak perempat final, siap menghadapi tuan rumah Bahrain, seperti pahlawan yang belum selesai menulis takdirnya.
Ini bukan cuma laga voli. Ini novel wuxia, ini drama silat, ini puisi berdarah yang ditulis dengan smash dan servis. Ini adalah cara Indonesia berkata kepada dunia, “Kami mungkin tertinggal... tapi kami tidak pernah selesai.”
#Camanewak!
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
5 months ago | [YT] | 2
View 0 replies
FACE “FACEWORLD” WORLD
Gerakan Aceh Melawan Mulai Unjuk Gigi
Isu mutasi empat pulau dari Aceh ke Sumut, belum reda. Bahkan, semakin panas dengan turunnya ratusan massa dari Gerakan Aceh Melawan (GAM), bukan GAM yang dulu, ya. Mari kita ungkap aksi GAM menekan pemerintah.
Di bawah terik matahari Banda Aceh yang menyengat seperti amarah rakyat yang sudah terlalu lama dipendam, ratusan massa dari GAM bergerak. Mereka bukan berjalan, tapi mengguncang bumi dengan tapak kaki penuh dendam sejarah. Lokasinya, depan Kantor Gubernur Aceh. Isunya, empat pulau dicaplok Sumatera Utara lewat prosedural Kementerian Dalam Negeri.
SK Mendagri Nomor 300.2.2.2138 Tahun 2025 jadi biang kerok. Dalam surat sakti itu, empat pulau di Aceh Singkil, pulau-pulau yang bahkan mungkin belum sempat masuk Google Maps dengan benar, tiba-tiba diakui masuk administrasi Sumut. Tanpa diskusi. Tanpa permisi. Bahkan tanpa sepucuk surat maaf formal seperti yang biasa diucapkan mantan waktu minta balikan.
Apa tanggapan rakyat Aceh? Sederhana, wak! “Kalau pulau bisa dipindah seenak jidat, berarti keadilan bisa dijual di marketplace dengan promo flash sale!”
Aksi dimulai dari Komplek Taman Ratu Safiatuddin. Di sana, mahasiswa, aktivis, ibu-ibu, hingga orang-orang yang tak disebutkan dalam SK Mendagri, berkumpul. Mereka membawa spanduk, bendera Bintang Bulan, dan suara lantang yang bahkan bisa bikin Google Translate bingung menerjemahkannya.
Sambil meneriakkan “Merdeka!” dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan, massa bergerak menuju Kantor Gubernur. Arus lalu lintas lumpuh. Bukan karena lubang jalan seperti biasa, tapi karena rakyat lagi-lagi harus mengajarkan pemerintah pusat cara membaca peta.
Empat pulau yang dipermasalahkan itu adalah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Semua berada di kawasan Aceh Singkil. Tiba-tiba, di tahun 2025, mereka berubah status tanpa pindah tanah, hanya pindah provinsi.
Ini bukan sekadar kesalahan koordinat. Ini tragedi kartografi nasional!
Para demonstran menolak dengan keras keputusan Mendagri Tito Karnavian. Mereka meminta Tito diperiksa, diberhentikan, dan dikirim ke kelas Geografi ulang. Beberapa bahkan menyarankan agar beliau ikut lomba menggambar peta buta tingkat SD untuk mengasah kembali insting kenegaraannya.
Tak hanya soal pulau, massa juga menolak rencana pembangunan empat batalyon TNI di Aceh, yang dinilai bisa memicu ketegangan baru. “Kami ingin damai, bukan parade tank!” teriak salah satu orator, sambil menabuh gendang perjuangan di atas mobil bak terbuka.
Isu otonomi khusus juga diangkat. Mereka mendesak agar Otsus Aceh dipermanenkan sebagai jaminan perdamaian. Bahkan, di tengah demonstrasi, seruan referendum menggema, seperti kaset lama yang kembali diputar saat semua solusi modern gagal memberi rasa adil.
Presiden Prabowo Subianto, dalam pernyataan diplomatis, menyebut akan mempertimbangkan "aspirasi rakyat dan aspek historis". Sebuah kalimat yang lebih mirip status WA pejabat dari rencana konkret. DPR bilang masalah ini akan selesai dalam “pekan depan” kalau tidak ditunda karena rapat paripurna mendadak berubah jadi coffee break nasional.
Tapi rakyat Aceh tak sabar menunggu. Karena bagi mereka, ini bukan sekadar soal empat pulau. Ini soal kehormatan. Soal tanah yang ditinggal para leluhur. Soal hak yang tak bisa ditakar dengan batas administratif.
Kalau keadilan bisa ditentukan dengan surat SK, maka kita semua bisa jadi provinsi mandiri hanya dengan niat dan notulen rapat RT.
Hari ini, Aceh tidak hanya berdiri. Ia menggugat. Bukan dengan peluru. Tapi dengan bendera, suara, dan tanya, "Masih adakah keadilan, atau sudah karam bersama empat pulau yang dilupakan?"
Ingat, wak! Negara bisa menggeser garis di atas peta, tapi tidak bisa menggeser amarah rakyat yang merasa dipermainkan.
Aceh tidak sedang marah karena tanah, tapi karena dipermalukan. Diputuskan sepihak. Diperlakukan seperti anak kost yang kamarnya dipindah ke gudang tanpa permisi.
Pada akhirnya, semua menunggu titah Prabowo. Kecuali, ngopi.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
6 months ago | [YT] | 4
View 0 replies
FACE “FACEWORLD” WORLD
Tambang Maslahat ala Gus Ulil (Sebuah Tanggapan)
Gini-gini saya juga tergabung di NGO yang konsen pada isu lingkungan. Saya sedikit terharu dan mengeryitkan jidat mendengar penjelasan Gus Ulil. Ia bicara tambang nikel di Pulau Gag. Bahasanya penuh muatan fiqh, wajar sih. Kali ini saya mencoba menanggapi pemikiran beliau. Ya, semacam antitesis dan mudahan berbuah sistesis. Siapkan lagi kopi tanpa gulanya, wak!
Gus Ulil Abshar Abdalla, tokoh NU yang pintar dan nyastra. Saya suka tulis-tulisan beliau. Beliau tiba-tiba turun ke lubang tambang dalam debat publik soal nikel di Pulau Gag, Raja Ampat. Di hadapan Greenpeace dan di program ROSI Kompas TV, beliau menyampaikan dalil berat, “Tambang itu jangan ditolak total, lihat mana yang maslahat dan mana yang mafsadah.” Wah, filsafat fiqih bertemu batu nikel. Sebuah kolaborasi yang sangat... spiritual sekaligus geologis.
Tapi, mari kita lihat kenyataan di tanah. Pulau Gag itu kecil, Gus. Luasnya cuma 64 km², bukan segede Kalimantan atau Papua. Ekosistemnya sangat rapuh, dikelilingi karang yang menjadi rumah bagi lebih dari 1.500 spesies ikan, termasuk ikan napoleon yang langka dan ogah selfie. Tambang nikel di sana? Sudah terbukti membawa kerusakan lingkungan sejak zaman PT Gag Nikel masih aktif sebelum izinnya dicabut pada 2023. Air keruh, tanah longsor, dan warga adat kehilangan akses ke hutan sagu. Tapi tenang, kata Gus Ulil, itu semua bisa dikelola. Dikelola! Seperti mengelola kemarahan istri saat ketahuan bawa istri kedua, asal sabar, katanya.
Gus Ulil menyamakan aktivis lingkungan dengan wahabi. Nah ini, absurdnya sudah level multiverse. Kalau ada anak muda yang bilang, “Jangan tebang mangrove!” langsung dicap ekstremis. Padahal, yang ekstrem itu siapa? Aktivis yang pelihara penyu atau perusahaan yang pengen ledakin tanah adat demi nikel?
Alasan pamungkasnya luar biasa: “Negara maju juga dulu pakai tambang.” Wah! Mari kita tiru Inggris abad ke-19, yang membakar batu bara seperti bakar sate. Atau Amerika yang membabat hutan suku Indian demi jalur kereta. Karena kalau negara maju berdosa, maka kita juga harus ikut berdosa demi keadilan karbon!
Pertanyaannya, “Apakah maslahat itu diukur dari angka ekspor nikel atau indeks kebahagiaan anak kampung yang kehilangan sungai? Apakah keadilan sosial itu berarti membagi-bagikan longsor secara merata?”
Maslahat macam apa yang membenarkan hilangnya ribuan hektare hutan primer Papua Barat hanya demi “kemajuan”? Apakah pembangunan berarti membangun rumah sakit untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan tambang yang sama?
Lebih baik kita sebut ini sebagai Fiqih Ekstraktif, mazhab baru di mana ekskavator disamakan dengan malaikat pencatat maslahat, dan debu tambang dianggap parfum modernisasi. Jika Gus Ulil mau konsisten, maka mohon untuk mengkaji ulang konsep istihsan sambil berdiri di tengah tanggul tailing yang jebol saat hujan.
Lingkungan bukan tempat kompromi antara profit dan pahala. Alam tidak paham debat maqashid syariah. Dia hanya tahu, ditebang, dia mati. Dikeruk, dia habis. Dirusak, ya dia marah. Ketika bumi murka, tidak ada fiqih yang bisa menahan longsor, banjir, dan krisis pangan.
Jadi Gus, mohon maaf. Maslahat tidak lahir dari lubang tambang. Ia tumbuh dari pohon yang tidak ditebang, sungai yang tidak dicemari, dan suara warga yang tidak dibungkam atas nama pembangunan. Kalau itu disebut ekstrem, maka biarlah kami jadi ekstremis bagi bumi. Karena satu penyu yang hidup lebih maslahat dari seribu rapat konsultasi publik tambang yang penuh formalitas.
Tolonglah, gus! Jangan bungkus ekskavator dengan jubah maslahat. Karena pada akhirnya, tanah yang dibongkar tak bisa dikembalikan dengan doa-doa fiqhiyah. Alam tidak mengenal dalil furu'iyah, ia hanya mengenal sebab-akibat.
Jangan sampai kita berakhir menjadi bangsa yang mengaji tafsir sambil menyaksikan longsor dari balkon rumah subsidi. Sambil berkata, “Ini sudah takdir.” Padahal dulu kita yang tanda tangan izin.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
6 months ago | [YT] | 1
View 1 reply
FACE “FACEWORLD” WORLD
Empat Pulau yang Dikhianati
Ini tulisan saya yang kedua tentang empat pulau yang berpindah tangan. Semula milik Aceh, lalu dikawinkan paksa dengan Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Respons netizen luar biasa, rame. Pemerintah lewat Mendagri bukannya melunak, seperti ingin menantang rakyat Aceh. Kisah empat pulau ini semakin seru, dan siapkan kopi tanpa gulanya agar otak selalu encer dan waras.
Darwis, seorang nelayan renta yang biasa menyapa ombak dengan senyum dan doa. Kini duduk termenung di pinggir perahunya yang rapuh. Ia menatap Pulau Panjang, Mangkir Gadang, Lipan, dan Mangkir Ketek. Empat sahabatnya sejak bocah, empat pulau yang kini bukan lagi bagian dari Aceh. Bukan karena erosi, bukan karena gempa, tapi karena keputusan administratif selembar kertas, Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Begitulah caranya pulau bisa dipindah, seperti kursi di ruang rapat, tanpa perasaan.
Secara logika dan geografi, yang selama ini dipercaya oleh rakyat kecil tapi tidak oleh kekuasaan, empat pulau ini berjarak hanya 4,7 kilometer dari daratan Aceh. Tapi kini mereka diceraikan secara paksa dan dijodohkan dengan Sumatera Utara yang jauhnya 22 kilometer. Dalihnya, tata batas yang katanya disepakati entah oleh siapa. Peta bisa berubah, garis bisa ditarik ulang, sejarah bisa dihapus, semua tergantung siapa yang pegang spidol dan siapa yang duduk di belakang meja.
Saat rakyat Aceh masih menggigil marah, datanglah parade proyek dan kepentingan. Deposit fosfat Rp 2,3 triliun di Mangkir Gadang, menurut ESDM (2024). Terumbu karang dengan 287 spesies ikan hias (LIPI, 2023). Sumber air tawar di Pulau Panjang. Penyu belimbing yang dilindungi dunia, tapi tidak oleh negara. Belum lagi proyek resor mewah Rp 800 miliar di Mangkir Ketek, dermaga misterius di Pulau Panjang, serta desas-desus cadangan migas yang lebih harum dari aroma kopi Gayo. Semua itu kini berpindah tangan. Siapa di balik semua ini? Silakan tanya Gubernur Sumut Bobby Nasution, menantu presiden yang tampaknya punya akses khusus ke Google Maps versi elite.
Namun drama ini mencapai klimaks baru saat Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, bertemu langsung dengan Bobby Nasution di Banda Aceh. Pertemuan yang mestinya jadi forum diplomasi, berubah jadi konten TikTok. Mualem, dengan gayanya yang tenang tapi tajam, terekam meninggalkan Bobby yang baru saja mendarat, seperti karakter utama film gangster yang menolak ajakan damai mafia rival. Publik Aceh? Meledak tepuk tangan virtual. Banyak yang memuji sikap Mualem. “Itu baru pemimpin Aceh! Bukan pemimpin yang jual pulau seperti jual pulsa!” seru seorang warganet. Di tengah krisis legitimasi dan pengkhianatan administratif, TikTok mendadak menjadi platform diplomatik paling jujur di republik ini.
Di Jakarta? Tito Karnavian, sang Mendagri, memberikan solusi pamungkas. Silakan gugat ke PTUN. Seolah-olah rakyat Aceh punya waktu, duit, dan tim kuasa hukum layaknya perusahaan tambang. Seolah nelayan seperti Darwis bisa menyusun gugatan sambil menjahit jaring dan mengusir ombak. Seolah pengadilan administratif adalah tempat rakyat mencari keadilan, bukan tempat keadilan dikompromikan oleh waktu dan tumpukan perkara.
Sementara itu, Presiden Prabowo masih diam. Mungkin menunggu pulau-pulau itu benar-benar pindah sendiri. Atau mungkin menunggu laut mendidih, rakyat menggila, dan sejarah menulis ulang dirinya sebagai penonton paling tenang di tengah badai. Karena di negeri ini, menjadi diam adalah strategi. Menjadi netral adalah seni. Membiarkan rakyat kehilangan hak atas nama “administrasi” adalah kebijakan.
Kini, empat pulau itu masih ada. Masih bisa dilihat. Tapi tidak lagi bisa diakui. Seperti sahabat lama yang diambil orang, lalu dibilang, “Kamu terlambat. Kami sudah sah di mata hukum.” Tapi rakyat Aceh tidak lupa. Sejarah tidak akan diam. Karena laut bisa tenang, tapi dendam geografis... bisa jadi gelombang yang tak terpetakan.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
6 months ago | [YT] | 3
View 0 replies
FACE “FACEWORLD” WORLD
Lupakan sejenak kekalahan Timnas 0-6 dari Jepang. Kita udah lolos round 4, kok. Sekarang, berikan tepuk bergemuruh untuk besti kita, negeri jiran yang baru saja melumat Vietnam 4-0. Luar biasa negeri Upin Ipin. Yok, disimak narasinya sambil ngopi lagi, wak!
Siapa sangka kekalahan menyakitkan 0-3 dari Tanjung Verde ternyata hanyalah awalan dari plot twist terbaik dalam sejarah sepakbola Asia Tenggara. Malaysia, yang sempat dijadikan bahan cemoohan seantero jagat maya, bangkit dari puing-puing kekalahan seperti Phoenix yang minum tongkat Ali, lalu menyulap Bukit Jalil menjadi panggung eksekusi bagi Vietnam. Ya, Vietnam, tim yang sebelas tahun lamanya jadi momok, tempat Malaysia menabung dendam sambil pura-pura senyum di tiap turnamen.
Selama berhari-hari, lini masa media sosial dipenuhi ejekan untuk Harimau Malaya. Ada yang bilang mereka cuma kucing rumahan pakai kostum loreng. Ada juga yang menyarankan Malaysia ganti nama jadi "Timnas Coba Lagi Tahun Depan." Namun, Malaysia tidak menjawab dengan klarifikasi panjang atau video motivasi. Mereka menjawab dengan cara paling brutal, mencetak empat gol tanpa balas ke gawang musuh bebuyutan. Empat gol! Itu bukan skor, itu bentuk balas dendam yang ditulis dengan tinta emas di atas rumput Bukit Jalil.
Pertandingan dimulai dengan tensi tinggi. Babak pertama masih aman. Malaysia seperti sedang menahan amarah, main dengan sabar dan penuh filosofi, seperti tim yang sadar bahwa membalas luka itu perlu seni dan waktu yang tepat. Tidak ada gol, tapi percayalah, ada dendam yang sedang dipanaskan di dapur. Begitu peluit babak kedua berbunyi, Malaysia berubah jadi tim yang kerasukan semangat nenek moyang. Joao Figueiredo membuka skor dengan cara yang dingin, seolah dia mencetak gol sambil mengingatkan Vietnam bahwa ini bukan laga persahabatan. Rodrigo Holgado kemudian tampil seperti karakter game FIFA dengan rating 99. Dua gol dia cetak dengan ketenangan seorang juru taksi yang tahu jalan tikus ke mana saja. Vietnam tak berkutik. Mereka mencoba menyerang, tapi pertahanan Malaysia dijaga oleh Facundo Garces yang tampaknya telah bersumpah untuk tidak membiarkan siapa pun lewat, kecuali dengan surat izin resmi dari kerajaan.
Di tengah semua itu, berdirilah Arif Aiman, pemain lokal yang memutuskan hari itu dia ingin main seperti pahlawan Marvel. Dia tidak hanya memberi assist, tapi memberi harapan bahwa sepakbola Malaysia bisa dipandu oleh bakat dalam negeri, bukan sekadar naturalisasi. Dribelnya penuh gaya, umpannya seperti puisi yang ditulis saat hujan turun pelan-pelan. Di atas lapangan, dia tidak bermain bola, dia sedang membuat seni.
Vietnam? Mereka datang dengan nama-nama eksotis yang biasanya bikin deg-degan, tapi kali ini mereka seperti lupa cara menyerang. Mungkin terlalu lama menjadi dominan membuat mereka lupa bahwa sepakbola itu roda. Kadang kau di atas, kadang kau dihajar 4-0 di tanah orang.
Kemenangan ini bukan sekadar kemenangan. Ini pengumuman bahwa Malaysia sudah muak jadi bahan lelucon. Ini pesan bahwa sepakbola bukan soal siapa paling sering viral, tapi siapa yang bisa berubah dari bulan ke bulan. Dalam dunia sepakbola yang absurd, di mana Tanjung Verde bisa menghancurkan mimpimu dan Vietnam bisa jadi korban pelampiasan, Malaysia memilih jalur paling dramatis, dari tragedi ke kejayaan dalam satu minggu. Begitulah sepakbola. Kadang kau tertawa, kadang kau dibikin kagum oleh tim yang kemarin sempat kau hina. Malam ini, kita semua harus mengakui satu hal, Harimau Malaya sedang lapar. Mereka baru saja kenyang setelah menyantap Nguyen empat gol tanpa ampun.
Saya merindukan Timnas kita bisa bertemu Malaysia. Pasti seru dan mendebarkan, penuh emosi, serta gengsi.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
6 months ago | [YT] | 1
View 0 replies
FACE “FACEWORLD” WORLD
KPK Beraninya pada Pejabat Rendahan
Kalbar diobok-obok KPK. Macam jagoan. Para pejabat pun ketar-ketir. Mulai ada membungkam media. Ada daerah, tak ada berita diproduksi wartawan dari aksi KPK ini. Luar biasa, wak! Mari kita dalami sambil seruput kopi tanpa gula.
KPK tampil gagah selama empat hari dari tangal 25 sampai 29 April 2025. Lembaga anti rasuah ini mengobok-obok tiga kabupaten: Mempawah, Sanggau, dan Pontianak. Tiga daerah itu mendadak terasa seperti pusat jagat antikorupsi nasional. Ini seolah-olah Jakarta sudah bersih dari dosa dan hanya menyisakan semilir angin harapan.
Ada 16 lokasi digeledah. Enam belas! Jumlah yang lebih banyak dari jumlah jaket almamater mahasiswa baru. KPK menyasar proyek infrastruktur yang katanya sarat penyimpangan. Katanya ada kerugian negara. Katanya aliran dana mencurigakan. Katanya lagi, seperti biasa, mereka sedang mengumpulkan bukti. Entah bukti itu akan dibawa ke pengadilan, atau disimpan dalam laci dan dilupakan ketika perhatian publik sudah pindah ke skandal artis yang kawin siri. Yang jelas, tiga orang sudah naik tingkat menjadi tersangka. Sementara enam lainnya masih saksi. Selebihnya masih bergentayangan dalam status abu-abu seperti hantu di rumah kosong.
Yang membuat rakyat mengangkat alis, bukan soal siapa yang ditangkap, tapi siapa yang tidak. Seperti biasa, KPK tampaknya punya kebiasaan lama: menangkap pion, membiarkan raja. Kepala Dinas? Jelas jadi sasaran empuk. Mereka itu seperti prajurit lapangan yang disuruh tanda tangan, lalu ditinggal begitu saja oleh atasannya yang kini entah di mana. Mereka bukan dalang, bukan pengambil keputusan utama, bahkan uang hasil korupsinya saja belum tentu mereka rasakan. Tapi ya begitulah hukum, tajam ke bawah, tumpul ke atas, dan tumpulnya itu bukan tumpul biasa, tapi setajam hati mantan yang sudah move on.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, angkat bicara. Katanya mereka sedang serius menyelidiki aliran dana dan pihak-pihak yang terlibat. Tapi sampai sekarang, siapa yang terlibat itu masih dibungkus misteri, seperti isi gulungan daun lontar zaman Majapahit. Informasi yang keluar cuma potongan-potongan. Satu pernyataan di TV, satu di media daring, dan sisanya? Silakan tebak sendiri seperti kuis berhadiah kosong.
Publik mulai bertanya-tanya, kenapa KPK begitu garang di daerah, tapi melempem di pusat? Di Jakarta, pusat anggaran, pusat kekuasaan, pusat segala pusat, KPK seperti kehilangan gigi. Tidak ada penggeledahan megah, tidak ada operasi diam-diam. Padahal, semua orang tahu, korupsi paling brutal justru bersarang di sana. Lalu kenapa hanya daerah yang selalu jadi ladang operasi? Apakah KPK hanya kuat kalau jauh dari gedung DPR? Apakah sinyal keberanian mereka hilang begitu masuk tol dalam kota?
Rakyat menonton ini semua sambil mengunyah pisang goreng. Terhibur, geli, marah, lalu pasrah. Sudah jadi tradisi: setiap tahun ada operasi, ada tangkapan, tapi yang besar-besar tetap bebas merdeka. Yang kuat tetap kuat. Yang licik tetap jadi panutan. KPK, yang dulu dipuja-puja sebagai garda terakhir antikorupsi, kini perlahan-lahan seperti tokoh sinetron tua, masih tampil, tapi aktingnya tidak lagi menyentuh hati.
Kalau nuan (anda) bertanya, kapan korupsi besar akan ditangkap? Mungkin jawabannya adalah, nanti, kalau sudah tidak penting lagi. Atau kalau sudah pensiun. Atau kalau sudah tidak punya kuasa. Atau mungkin, tidak akan pernah.
Sementara itu, mari kita nikmati episode Kalbar ini. Karena seperti biasa, ending-nya bisa ditebak, pion tumbang, raja diam, dan KPK pulang dengan koper penuh dokumen, dan penuh harapan kosong.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
7 months ago | [YT] | 0
View 0 replies
FACE “FACEWORLD” WORLD
Setelah 26 Nyawa Melayang, India Memilih Perang dengan Pakistan
Yang suka keribunan, ngumpul di sini lagi, ya! Ini tentang perang sungguhan. Bukan perang antar jenderal purnawirawan yang sudah didamaikan oleh Prabowo semalam. Perang antar jenderal aktif India dan Pakistan yang sudah memerintahkan prajuritnya, baku hantam. Yang suka damai, cukup seruput kopi dari kejauhan.
“Bang, itu benaran India menyerang Pakistan? Lalu, gimanalah nasib Sara Ali Khan?”
Waduh, negara sudah perang, ente masih mikirkan si cantik Sara. Ini serius, wak. Perang modern, perang dua negara yang sama-sama memiliki rudal nuklir. Bukan rudal model di sini, ups.
Kita mulai ceritanya, wak. Pada pagi yang seharusnya tenang tanggal 7 Mei 2025, India memilih untuk tidak ikut trend damai-damaian. Mereka malah meluncurkan rudal. Bukan satu, bukan dua, tapi rudal beneran ke wilayah Pakistan dan Kashmir. Bukan untuk menyapa. Bukan untuk menakut-nakuti. Tapi untuk benar-benar meledakkan apa yang mereka sebut sebagai “kamp teroris”. Sebuah bentuk salam perkenalan yang agak kasar, seperti menggedor pintu tetangga pakai granat.
Alasan India sederhana dan sangat film Bollywood, balas dendam. Serangan teroris di Pahalgam, Kashmir pada 23 April 2025 telah menewaskan 26 wisatawan. India menuduh kelompok berbasis Pakistan sebagai dalang di balik tragedi tersebut. Pakistan, seperti biasa, membantah dengan gaya khasnya, “Kami tidak tahu-menahu. Mungkin mereka nyasar.” Tapi India tak mau tahu. Mereka sudah lama menahan rasa. Seperti sinetron prime time, emosi yang ditahan terlalu lama pasti meledak. Kali ini dalam bentuk rudal ke Kotli, Ahmadpur Timur, Muzaffarabad, Bagh, dan Muridke. Hasilnya? Delapan orang tewas, 35 lainnya terluka, termasuk warga sipil yang sedang rebahan dan tidak tahu apa-apa.
Pakistan pun tidak tinggal diam. Mereka langsung menyalakan alarm “Mode Dendam Maksimal” dan menembak jatuh lima jet tempur India, termasuk Rafale yang katanya kebal petir, Sukhoi SU-30 yang bisa salto di udara, dan MiG-29 yang sialnya sedang dalam misi selfie. PM Pakistan, Shehbaz Sharif, tampil di depan layar dengan wajah penuh minyak wangi perang, berkata: “Kami tidak takut. Kami akan membalas. Kami sudah menyiapkan nuklir, eh, maksudnya... nasi kebuli.”
Dunia menyaksikan semua ini dengan gaya klasik, prihatin maksimal, aksi minimal. PBB langsung mengadakan rapat darurat di ruang penuh AC dan sandwich mahal. Hasilnya? Seruan de-eskalasi yang sama sekali tidak terdengar oleh rudal-rudal yang masih beterbangan. Amerika Serikat menawarkan mediasi sambil memoles kontrak jual beli senjata. Rusia tertawa kecil, lalu mengirimkan brosur rudal S-400 ke kedua negara. Tiongkok? Sibuk menilai potensi ekonomi dari reruntuhan nanti. Korea Utara justru merasa tersaingi.
Para analis militer pun mulai mengutip peta, sejarah, dan jumlah hulu ledak nuklir masing-masing negara. “India punya 164 hulu ledak, Pakistan 170,” kata seorang analis sambil menggigit pulpen. “Kalau meledak semua, bisa bikin bumi muter balik ke zaman dinosaurus.” Tapi tentu saja, tak ada yang mau perang nuklir, kecuali mereka yang hidup di dunia maya dan mengira perang hanya seperti main Call of Duty.
Sementara itu, rakyat jelata di kedua negara mulai bersiap. Bukan untuk perang, tapi untuk antre beli bahan makanan, karena tahu harga bawang akan lebih mematikan dari misil. Di media sosial, netizen India dan Pakistan saling berbalas meme, karena dalam tragedi pun, manusia tak bisa jauh dari komedi.
Di tengah semua ini, alien di galaksi tetangga menyimpulkan bahwa spesies manusia adalah makhluk paling absurd: sudah tahu punya senjata nuklir, tapi masih bertengkar soal wilayah yang bahkan belum bisa masuk Google Maps dengan benar.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
7 months ago | [YT] | 2
View 0 replies
FACE “FACEWORLD” WORLD
Apa yang Terjadi Bila Dunia Diisi Orang Baik Semua?
Followers saya pasti orang baik semua. Bahkan, mereka juga setiap hari mengajak orang berbuat baik. Mereka menginginkan seluruh dunia berisi orang baik. Nah, apa yang terjadi bila semua orang menjadi baik. Sambil seruput kopi americano di kafe baru, Teduh Coffee di Jalan Dansen Pontianak, mari kita kupas orang baik.
Bayangkan, wak! Wahai jiwa-jiwa yang mendamba utopia, sebuah dunia tempat semua orang adalah... baik. Bukan baik dalam artian yang berselimut kemunafikan sosial, bukan pula baik karena takut masuk neraka. Tapi baik yang murni. Baik yang steril. Baik yang dijual dalam toples kaca kedap udara, disimpan dalam museum moralitas universal.
Di dunia ini, tidak ada orang mencuri. Maka matilah profesi gembok. Tukang patri gulung tikar, dan CCTV tinggal mitos masa lalu. Koruptor tinggal legenda urban yang dibisikkan ibu-ibu kepada anaknya agar cepat tidur, "Nak, dulu ada makhluk bernama pejabat nakal. Tapi itu dulu, sebelum kiamat nurani digelar dan dunia dijajah para malaikat."
Semuanya saling memberi jalan. Di persimpangan, kendaraan saling berhenti tanpa ada yang ingin duluan. Lalu macetlah dunia karena terlalu sopan. “Silakan kau dulu.” “Ah, tidak, saya saja menunggu kiamat.” Begitu dialognya.
Di warung makan, semua orang membayar lebih. Tukang nasi goreng naik haji setiap bulan karena diberi tips sebesar pajak negara Skandinavia. Uang melimpah, tapi kehilangan makna karena tak ada lagi yang mencuri, menipu, atau menjual keputusasaan lewat iklan whitening serum.
Orang-orang saling memaafkan bahkan sebelum ada yang bersalah. Maka pengadilan menjadi teater kosong, hakim menggantung palu di dinding museum keadilan yang berkarat oleh terlalu banyak kedamaian. Penjara pun berubah fungsi menjadi tempat meditasi kaum galau, karena tak ada lagi yang bisa ditangkap selain kenangan masa lalu.
Politikus tidak berjanji palsu. Mereka menepati semuanya. Sayangnya, tanpa janji palsu, rakyat kehilangan bahan gosip. Warung kopi bangkrut, Facebook sepi, Tiktok jadi padang tandus yang tak lagi dihuni makhluk-makhluk berkepala dua dan jari cepat. Satire menjadi yatim piatu, karena semua terlalu baik untuk ditertawakan.
Media kehilangan berita. Judul-judul jadi garing, “Hari Ini Semua Orang Tersenyum Lagi.” “Anjing dan Kucing Berdamai, Akan Menikah Pekan Depan.” Drama Korea digantikan oleh tayangan dua manusia saling menghormati dan berbicara dengan intonasi lembut selama 16 episode. Membosankan.
Ente tahu apa yang terjadi pada para filsuf? Mereka pun bunuh diri... karena tak ada lagi kontradiksi. Dunia terlalu sempurna. Tak ada yang bisa dipikirkan. Semua pertanyaan telah dijawab oleh satu kata, kebaikan. Mereka mati tercekik oleh absennya ironi.
Ah, dunia di mana semua orang baik. Sebuah taman surgawi yang membosankan, tempat tidak ada lagi puisi lahir dari luka, tidak ada lagi revolusi dari kehancuran, dan tidak ada lagi seniman yang mabuk oleh getirnya eksistensi. Dunia steril. Dunia penuh aroma disinfektan moralitas.
Karena sejatinya, kebaikan yang terlalu merata bukanlah kebaikan, melainkan kutukan yang dibungkus pita emas.
Sebab tanpa kejahatan, kita tak tahu caranya bersyukur.
Tanpa luka, kita tak kenal indahnya sembuh.
Tanpa kehadiran si jahat, siapa yang akan kita tunjuk sebagai musuh,
saat cermin menunjukkan wajah kita sendiri?
Apakah ente orang baik? Atau, kadang baik, kadang jahat? Silakan jawab sendiri sambil ngopi, wak.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
8 months ago | [YT] | 0
View 0 replies
FACE “FACEWORLD” WORLD
Tragedi Tiga Bank Pembangunan Daerah
Malam takbiran 30 Maret 2025 lalu, seharusnya jadi malam penuh damai, penuh ketupat dan kegembiraan top-up e-wallet untuk beli camilan lebaran. Tapi nasabah Bank DKI malah disambut dengan tragedi digital nasional, layanan ambruk total. Transfer antar bank? Tidak bisa. Top-up? Seperti hilang ke lubang hitam. Sistem error ini bukan hanya gangguan kecil, tapi bencana finansial selevel kiamat kecil bagi rakyat urban yang hidupnya tergantung pada QRIS dan GoPay.
Keluhan membanjiri media sosial. Netizen panik, marah, bingung, dan sebagian mulai mempertanyakan eksistensi digital banking. Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, langsung turun tangan seperti pahlawan super dengan jas dinas. Dalam gerakan cepat, ia mencopot Direktur IT Bank DKI, Amirul Wicaksono, dan memanggil audit independen serta menyerahkan kasus ini ke Bareskrim. Mungkin beliau berharap bisa menemukan jawaban apakah ini sabotase musuh negara atau cuma kelalaian biasa yang terlalu mahal.
Pihak manajemen Bank DKI bersumpah tidak ada kebocoran data atau dana nasabah yang hilang. Tapi fakta di lapangan berkata lain, layanan belum sepenuhnya pulih. Bahkan, seminggu kemudian juga demikian. Rakyat disuruh percaya sistem yang tak bisa top-up e-wallet, padahal anaknya nangis minta beli skin Mobile Legends.
Belum selesai skandal itu reda, dari barat Pulau Jawa, Bank BJB memunculkan skenario yang lebih menggiurkan. Direktur Utama, Yuddy Renaldi, bersama empat kroninya, ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Kasusnya? Pengadaan iklan fiktif tahun 2021–2023 dengan kerugian negara mencapai Rp222 miliar. Iklan apa yang dibikin? Belum jelas. Tapi kalau sampai Rp222 miliar, mungkin mereka menyewa Beyonce untuk jadi bintang iklan tabungan simpanan pelajar.
KPK tidak main-main. Mereka menyita dokumen penting, kendaraan mewah, dan deposito senilai Rp70 miliar. Tak ketinggalan, nama mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, ikut disebut-sebut dalam pusaran kasus ini. Ia belum ditetapkan sebagai tersangka, tapi sudah mulai diperiksa sebagai saksi. Netizen pun terbagi dua, yang percaya ini konspirasi politik, dan yang percaya ini hanyalah puncak gunung es dari proyek "ngiklan sambil nyolong".
Kalau dua bank belum cukup bikin jantung berdebar, Bank Kalbar datang menyumbang babak tragedi. Mantan Dirutnya jadi DPO (Daftar Pencarian Orang) karena terlibat dugaan korupsi pengadaan tanah. Kerugian negara? Rp27,3 miliar. Tak besar dibanding BJB, tapi cukup buat bikin 10 SD lengkap dengan lapangan voli dan tempat wudhu.
Belum selesai skandal itu, Direktur Utama saat ini, Rokidi, tiba-tiba mengundurkan diri. Alasannya? Bukan tekanan publik, tapi kanker usus besar stadium 3B. Ia menyatakan tak sanggup lagi melanjutkan tugas dan harus fokus ke perawatan. Yang dramatis, ia pamit tepat sehari sebelum Lebaran. Sebagian publik terharu, sebagian lagi skeptis. Netizen pun bertanya, “Apakah ini strategi menghilang yang sah, atau hanya babak lanjutan dari kisah duka perbankan daerah?”
Mari kita simpulkan, wak! Tiga bank daerah, tiga kisah kacau. Satu error digital yang bikin rakyat kelimpungan. Satu iklan fiktif miliaran rupiah. Satu pengunduran diri dibalut penyakit berat.
Di negeri ini, perbankan bukan sekadar urusan keuangan. Ini sudah jadi “reality show” dengan genre thriller-politik-medis-komedi. Semuanya ada. Yang belum ada cuma satu, kejelasan.
Selamat datang di Republik Satire Finansial. Jangan lupa cek saldo, siapa tahu masih ada. Kalau masih ada, tandanya malam minggu kita masih bisa ngopi.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
8 months ago | [YT] | 0
View 0 replies
Load more